Rabu, 22 April 2009

MEMAHAMI KONSEP DASAR BELAJAR

MEMAHAMI KONSEP DASAR BELAJAR


A. Pengertian Belajar

Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa kata "belajar" merupakan kata yang tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari, siang hari, sore hari, atau pagi hari.
Namun, dari semua itu tidak setiap orang mengetahui apa itu belajar. Seadainya dipertanyakan apa yang sedang dilakukan? Tentu saja jawabnya adalah "belajar". Itu saja titik. Sebenarnya dari kata "belajar" itu ada pengertian yang tersimpan di dalamnya. Pengertian dari kata "belajar" itulah yang perlu diketahui dan dihayati, sehingga tidak melahirkan pemahaman yang keliru mengenai masalah belajar.
Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Tentu saja mereka mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
James O. Whittaker, misalnya, merumuskan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Cronbach berpendapat bahwa learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Howard L. Kingskey mengatakan bahwa learning is the process by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or training. Belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. Sedangkan Geoch merumuskan learning is change is performance as a result of practice.
Drs. Slameto juga merumuskan pengertian tentang belajar. Menurutnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik, tetapi perubahan jiwa dengan sebab masuknya kesan-kesan yang baru. Dengan demikian, maka perubahan fisik akibat sengatan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga, penyakit bisul, dan sebagainya bukanlah termasuk perubahan akibat belajar. Oleh karenanya, perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang..
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serang¬kaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.

B. Hakikat Belajar
Pada pembahasan terdahulu telah dibahas mengenai pengertian belajar. Pada bagian ini akan dibicarakan masalah hakikat belajar. Hakikat belajar ini sangat penting diketahui untuk dijadikan pegangan dalam memahami secara mendalam masalah belajar.
Dari sejumlah pengertian belajar yang telah diuraikan, ada kata yang sangat penting untuk dibahas pada bagian ini, yakni kata "perubahan" atau change. Change adalah sebuah kata dalam bahasa Inggris, yang bila diindonesiakan berarti "perubahan".

Ketika kata "perubahan" dibicarakan dan dipermasalahkan, maka pembicaraan sudah menyangkut permasalahan mendasar dari masalah belajar. Apa pun formasi kata dan kalimat yang dirangkai oleh para ahli untuk memberikan pengertian belajar, maka intinya tidak lain adalah masalah "perubahan" yang terjadi dalam diri individu yang belajar. Coba lihat kembali pembahasan di depan, bagaimana para ahli mengemukakan pengertian belajar dengan persamaan dan perbedaan pada unsur-unsur kata dan kalimat para ahli boleh jadi tidak meletakkan kata "perubahan" atau change secara nyata dalam pengertian belajar, tapi sebenarnya secara tersirat mengandung makna "perubahan". Perubahan yang dimaksudkan tentu saja perubahan yang sesuai dengan perubahan yang dikehendaki oleh pengertian belajar, yang ciri-cirinya akan diuraikan pada pembahasan mendatang.
Oleh karena itu, seseorang yang melakukan aktivitas belajar dan diakhir dari aktivitasnya itu telah memperoleh perubahan dalam dirinya dengan pemilikan pengalaman baru, maka individu itu dikatakan telah belajar. Tetapi perlu diingatkan, bahwa perubahan yang terjadi akibat belajar adalah perubahan yang bersentuhan dengan aspek kejiwaan dan mempengaruhi tingkah laku. Sedangkan perubahan tingkah laku akibat mabuk karena meminum minuman keras, akibat gila, akibat tabrakan, dan sebagainya, bukanlah kategori belajar dimaksud.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa hakikat belajar adalah perubahan dan tidak setiap perubahan adalah sebagai hasil belajar.

C. Ciri-Ciri Belajar
Jika hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri belajar.
1. Perubahan yang Terjadi Secara Sadar
Ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya individu merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah, kebiasaannya bertambah. Jadi, perubahan tingkah laku individu yang terjadi karena mabuk atau dalam keadaan tidak sadar, tidak termasuk kategori perubahan dalam pengertian belajar. Karena individu yang bersangkutan tidak menyadari akan perubahan itu.
2. Perubahan dalam Belajar Bersifat Fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Misalnya, jika seorang anak belajar menulis, maka ia akan mengalami perubahan dari tidak menulis menjadi dapat menulis.
Perubahan itu berlangsung terus menerus hingga kecakapan menulisnya menjadi lebih baik dan sempurna. la dapat menulis dengan kapur, dan sebagainya. Di samping itu, dengan kecakapan menulis yang telah dimilikinya ia dapat memperoleh kecakapan¬-kecakapan lain. Misalnya, dapat menulis surat. menyalin catatan¬-catatan, mengerjakan soal-soal, dan sebagainya.
3. Perubahan dalam Belajar Bersifat Positif dan Aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha individu sendiri. Misalnya, perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan dalam pengertian belajar.
4. Perubahan dalam Belajar Bukan Bersifat Sementara
Perubahan yang bersifat sementara (temporer) yang terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, menangis, dan sebagainya tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya, kecakapan seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar, tidak akan hilang, melainkan akan terus dimiliki dan bahkan makin berkembang bila terus dipergunakan atau dilatih.
5. Perubahan dalam Belajar Bertujuan atau Terarah
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. Misalnya seseorang yang belajar mengetik, sebelumnya sudah menetapkan apa yang mungkin dapat dicapai dengan belajar mengetik, atau tingkat kecakapan mana yang dicapainya. Dengan demikian, perbuatan belajar yang dilakukan senantiasa terarah pada tingkah laku yang telah ditetapkannya.
6. Perubahan Mencakup Seluruh Aspek Tingkah Laku
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Misalnya, jika seorang anak telah belajar naik sepeda, maka perubahan yang paling tampak adalah dalam keterampilan naik sepeda itu. Akan tetapi, ia telah mengalami perubahan-perubahan lainnya seperti pemahaman tentang cara kerja sepeda, pengetahuan tentang jenis-jenis sepeda, pengetahuan tentang alat-alat sepeda, cita-cita untuk memiliki sepeda yang lebih bagus, kebiasaan membersihkan sepeda, dan sebagainya. Jadi, aspek perubahan yang satu berhubungan erat dengan aspek lainnya.
Demikianlah pembicaraan mengenai ciri-ciri belajar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kerangka pemahaman terhadap masalah belajar.

D. Teori-Teori Belajar
Dari dulu hingga sekarang para ahli psikologi dan pendidikan tidak bosan-bosannya membicarakan masalah belajar. Penelitian demi penelitian sudah pula dilakukan. Berbagai teori belajar telah tercipta sebagai hasil kerja keras dari penelitian. Kritik-kritik terhadap teori-teori belajar yang sudah ada dan dirasakan mempunyai kelemahan selalu dilakukan oleh para ahli. Teori-teori belajar yang baru pun hadir di belantika kehidupan, mengisi lembaran sejarah . dalam dunia pendidikan. Begitulah adanya.
Namun, perlu disadari bahwa setiap teori belajar selalu tersimpan kelemahan di balik kelebihannya. Bagi pemakai teori-teori belajar diharapkan memahami kelemahan dan kelebihan teori-teori belajar yang ada agar dapat mengusahakan apa yang seharusnya dilakukan dalam perbuatan belajar.
Untuk mengetahui teori-teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli, akan dikemukakan dalam pembahasan berikut.

1. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Daya
Ahli-ahli ilmu jiwa daya mengemukakan suatu teori bahwa jiwa manusia mempunyai daya-daya. Daya-daya ini adalah kekuatan yang tersedia. Manusia hanya memanfaatkan semua daya itu dengan cara melatihnya sehingga ketajamannya dirasakan ketika dipergunakan untuk sesuatu hal. Daya-daya itu misalnya daya mengenal, daya mengingat, daya berpikir, daya fantasi, dan sebagainya.
Akibat dari teori ini, maka belajar hanyalah melatih semua daya itu. Untuk melatih daya ingat seseorang harus melakukannya dengan cara menghafal kata-kata atau angka, istilah-istilah asing, dan sebagainya. Untuk mempertajam daya berpikir seseorang harus melatihnya dengan memecahkan permasalahan dari yang sederhana sampai yang kompleks. Untuk meningkatkan daya fantasi seseorang harus membiasakan diri merenungkan sesuatu. Dengan usaha tersebut maka daya-daya itu dapat tumbuh dan berkembang dan tidak lagi bersifat laten (tersembunyi) di dalam diri.
Pengaruh teori ini dalam belajar adalah ilmu pengetahuan yang didapat hanyalah bersifat hafalan-hafalan belaka. Penguasaan bahan yang bersifat hafalan biasanya jauh dari pengertian. Walaupun begitu, teori ini dapat digunakan untuk menghafal rumus, dalil, tahun, kata-kata asing, dan sebagainya.
Oleh karena itu, menurut para ahli ilmu jiwa daya, bila ingin berhasil dalam belajar, latihlah semua daya yang ada di dalam diri.
2. Teori Tanggapan
Teori tanggapan adalah suatu teori belajar yang menentang teori belajar yang dikemukakan oleh ilmu jiwa daya. Herbart adalah orang yang mengemukakan teori tanggapan. Menurut Herbart teori yang dikedepankan oleh ilmu jiwa daya tidak ilmiah, sebab psikologi daya tidak dapat menerangkan kehidupan jiwa. Oleh karena itu, Herbart mengajukan teorinya, yaitu teori tanggapan. Menurutnya unsur jiwa yang paling sederhana adalah tanggapan.
Menurut teori tanggapan belajar adalah memasukkan tanggapan sebanyak-banyaknya, berulang-ulang, dan sejelas-jelasnya. Banyak tanggapan berarti dikatakan pandai. Sedikit tanggapan berarti dikatakan kurang pandai. Maka orang pandai berarti orang yang banyak mempunyai tanggapan yang tersimpan dalam otaknya.
Jika sejumlah tanggapan diartikan sebagai sejumlah kesan, maka belajar adalah memasukkan kesan-kesan ke dalam otak dan menjadikan orang pandai. Kesan dimaksud di sini tentu berupa ilmu pengetahuan yang didapat setelah belajar.
3. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan. Misalnya seorang pengamat yang mengamati seseorang dari kejauhan. Orang yang jauh itu pads mulanya hanyalah satu titik hitam yang terlihat bergerak. semakin dekat dengan si pengamat. Semakin dekat orang itu dengan si pengamat maka semakin jelas terlihat bagian-bagian atau unsur¬unsur anggota tubuh orang tersebut. Si pengamat dapat berkata bahwa orang itu mempunyai kepala, tangan, kaki, dahi, mata, hidung, mulut, telinga, baju, celana, sepatu, kacamata, jam tangan, ikat pinggang, dan sebagainya.
Dalam belajar, menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight (pengertian) adalah sebagai berikut.
a. Insight tergantung dari kemampuan dasar.
b. Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan (dengan apa yang dipelajari).
c. Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati.
d. Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit.
e. Belajar dengan insight dapat diulangi.
f. Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi¬situasi yang baru.



Prinsip-prinsip belajar menurut teori Gestalt
a. Belajar berdasarkan keseluruhan
Orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sebanyak mungkin. Bahan pelajaran tidak dianggap terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan. Bahan pelajaran yang telah lama tersimpan di otak dihubung-hubungkan dengan bahan pelajaran yang baru saja dikuasai, sehingga tidak terpisah, berdiri sendiri. Dengan begitu lebih mudah didapatkan pengertian. Bahan pelajaran yang bulat memang lebih mudah dimengerti daripada bagian-bagian.
b. Belajar adalah suatu proses perkembangan
Anak-anak baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menerima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaannya mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan anak karena lingkungan dan pengalaman.
c. Anak didik sebagai organisme keseluruhan
Anak didik belajar tidak hanya intelektualnya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran modern, selain mengajar guru juga mendidik untuk membentuk pribadi anak didik.
d. Terjadi transfer
Belajar pada pokoknya yang terpenting penyesuaian pertama, yaitu memperoleh tanggapan yang tepat. Mudah atau sukarnya problem itu terutama adalah masalah pengamatan. Bila dalam suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul, maka dapat dipindahkan untuk menguasai kemampuan yang lain. Dengan kata lain, kemampuan itu dapat dipakai untuk mempelajari hal¬-hal yang lain. Belajar matematika, misalnya, bila telah dikuasai dapat dipergunakan dalam masalah jual beli bahan-bahan tertentu.
Demikian juga halnya dengan penguasaan tata bahasa Indonesia, dapat ditransfer (dipergunakan) untuk mempelajari grammar bahasa Inggris.
e. Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Pengalaman adalah hasil dari suatu interaksi antara anak didik dengan lingkungannya. Anak kena api, misalnya, kejadian ini menjadi pengalaman bagi anak. Anak merasa panas kena api. Kulitnya mengelupas akibat terbakar. Anak belajar dari pengalamannya bahwa kena api itu panas dan api itu bisa membakar kulit manusia. Karena pengalamannya itu, anak didik tidak akan mengulangi lagi untuk bermain-main dengan api. Dengan demikian, belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi/soal baru dalam kehidupannya. Dalam menghadapi hal itu ia akan menggunakan semua pengalaman yang telah, dimilikinya. Anak mengadakan analisis reorganisasi pengalamannya.
f. Belajar harus dengan insight
Insight adalah suatu saat dalam proses belajar di mana seseorang melihat pengertian (insight) tentang sangkut paut dan hubungan¬-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu prob¬lem. Misalnya, peristiwa banjir yang melanda suatu daerah. Peristiwa itu tidak dipandang berdiri sendiri, tetapi ada faktor penyebab lainnya yang menyebabkan terjadinya peristiwa banjir itu di suatu daerah. Artinya, peristiwa banjir berhubungan dengan faktor-faktor lainnya.
g. Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan
Hal itu terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Di se¬kolah progresif, anak didik diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan yakin akan manfaatnya.
h. Belajar berlangsung terus-menerus
Belajar tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, anak didik harus banyak belajar, tidak hanya ketika di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Anak didik dapat memperoleh pengetahuan/pengalamannya sendiri-sendiri di rumah atau di masyarakat. Pihak lain harus turut membantunya. Pihak sekolah harus bekerja sama dengan orang tua di rumah dan di masyarakat dalam kehidupan sosial yang lebih luas, agar semua turut serta membantu perkembangan anak secara harmonis.

4. Teori Belajar dari R. Gagne
Dalam masalah belajar, Gagne memberikan dua definisi.
a. Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam
pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku.
b. Belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.
Gagne mengatakan bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domainds of learning, yaitu sebagai berikut ini.
1. Keterampilan motoris (motor skill)
Dalam hal ini perlu koordinasi dari berbagai gerakan badan, misalnya melempar bola, main tenis, mengemudi mobil, mengetik huruf R.M, dan sebagainya.
2. Informasi verbal
Orang dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar; dalam hal ini dapat dimengerti bahwa untuk mengatakan sesuatu itu perlu inteligensi.
3. Kemampuan intelektual
Manusia mengadakan interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan simbol-simbol. Kemampuan belajar dengan cara inilah yang disebut "kemampuan intelektual". Misalnya, membedakan huruf m dan n, menyebutkan tanaman yang sejenis.
4. Strategi kognitif
Ini merupakan organisasi keterampilan yang internal (internal organized skill) yang perlu untuk belajar mengingat dan berpikir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan intelektual, karena ditujukan ke dunia luar, dan tidak dapat dipelajari hanya dengan berbuat satu kali serta memerlukan perbaikan-perbaikan terus¬menerus.
5. Sikap
Kemampuan ini tak dapat dipelajari dengan ulangan-ulangan, tidak tergantung atau dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya domain yang lain. Sikap ini penting dalam proses belajar; tanpa kemampuan ini belajar tak akan berhasil dengan baik.

5. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Asosiasi
Teori asosiasi disebut juga teori sarbond. Sarbond singkatan dari Stimulus, Respons, dan Bond. Stimulus berarti rangsangan, respons berarti tanggapan, dan bond berarti dihubungkan. Rangsangan diciptakan untuk memunculkan tanggapan kemudian dihubungkan antara keduanya dan terjadilah asosiasi.
Teori asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Penyatupaduan bagian-bagian melahirkan konsep keseluruhan. Misalnya, sepeda. Konsep sepeda diberikan untuk kendaraan roda dua tanpa mesin bermula dari sekumpulan bagian-bagian yang dirangkai menjadi satu kesatuan komponen yang bersistem, menurut fungsi, dan peranannya masing-masing. Bagian-bagian yang membentuk konsep sepeda itu di antaranya adalah pedal, setang, lonceng, rem, ban luar dan dalam, tempat duduk, jari-jari, lampu, dan rantai.
Dari aliran ilmu jiwa asosiasi ada dua teori yang sangat terkenal, yaitu teori konektionisme dari Thorndike dan teori con¬ditioning dari Ivan P. Pavlov.
a. Teori Konektionisme
Thorndike adalah orang yang mengemukakan teori konektionisme. Dan penelitiannya dia menyimpulkan bahwa respons lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi stimulus dalam belajar coba-coba, trial and error Inilah kesimpulan Thorndike terhadap perilaku binatang dalam kurungan.
Respons benar lambat laun "tertanam" atau diperkuat melalui percobaan yang berulang-ulang. Respons yang tidak benar diperlemah atau "tercabut". Gejala mi disebut "sub-stitusi respons". Teori itu juga dikenal dengan nama kondisioning instrumental, karena pemilihan suatu respons itu merupakan alat atau instrumen bagi memperoleh ganjaran.
Ada tiga hukum belajar yang utama dan ini diturunkannya dari hasil-hasil penelitiannya. Ketiganya adalah hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.
1. Hukum efek
Hukum ini menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respons memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah laku. Sedangkan keadaan yang menjengkelkan memperlemah pautan itu. Thorndike kemudian memperbaiki hukum efek itu, sehingga hukuman tidak sama pengaruhnya dengan ganjaran dalam belajar.
2. Hukum latihan
Hukum ini menjelaskan keadaan seperti dikatakan pepatah "Latihan menjadi sempurna". Dengan kata lain, pengalaman yang diulang-ulang akan memperbesar peluang timbulnya respons (tanggapan) yang benar. Akan tetapi pengulangan-pengulangan yang tidak disertai keadaan yang memuaskan tidak akan meningkatkan belajar.
3. Hukum kesiapan
Hukum ini melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut "memuaskan", atau "menjengkelkan" itu. Secara singkat, pelaksanaan tindakan sebagai respons terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan menghalang¬halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya menimbulkan kejengkelan.
Jadi, menurut Thorndike dasar dari belajar tidak lain adalah asosiasi antara kesan panca indra dengan impuls untuk bertindak. Asosiasi ini dinamakan connecting. Sama maknanya dengan belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respons ini akan terjadi suatu hubungan yang erat bila sering dilatih. Berkat latihan yang terus menerus, hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi terbiasa atau otomatis.
Terhadap teori konektionisme ini ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya, yaitu:
a. Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis '
Apabila ada stimulus dengan sendirinya atau secara mekanis timbul respons. Kelemahannya adalah anak didik banyak yang hafal bahan pelajaran, tetapi mereka kurang mengerti cara pemakaiannya. Tidak jarang anak didik hafal sejumlah rumus matematika, rumus-rumus bahasa asing, rumus-rumus fisika, dalil-dalil tertentu, tapi meneraka kurang dapat menerapkannya. Ilmu pengetahuan yang seseorang punyai lebih dekat dengan istilah penumpukan ilmu yang bersifat kaku. Untuk menjawab soal-soal ulangan objektif tes seperti benar-salah (true false) atau multiple choice, ilmu pengetahuan yang bersifat mekanis (hafalan) akan lebih cocok dan mendukung untuk tes atau soal-soal tertentu.
b. Pelajar bersifat teacher centered (terpusat pada guru)
Guru yang aktif dalam membelajarkan anak didik. Guru pemberi stimulus. Guru yang melatih dan menentukan apa yang harus dikeriakan oleh anak didik.
c. Anak didik pasif
Anak didik kurang terdorong untuk berpikir dan juga is tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Anak didik lebih mengharapkan stimulus dari guru. Bila tidak ada stimulus, anak didik tidak kreatif dan aktif untuk belajar mandiri. Kemiskinan kreativitas anak didik inilah yang tidak sesuai dengan konsep belajar discovery-inquiry.

d. Teori ini lebih mengutamakan materi,
Materi cenderung dijejalkan sebanyak-banyaknya ke dalam otak anak didik (cara-cara pendidikan tradisional) dengan harapan anak didik banyak mempunyai pengetahuan. Pola belajar seperti ini cenderung menjadi intelektualistik.

b. Teori Conditioning
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang pasti merasakan sesuatu yang merangsang air liurnya untuk keluar. Misalnya, bagi para ibu yang sedang mengandung dan kebetulan mengidam ingin memakan buah-buahan yang asam-asam, ketika mereka melihat buah asam¬asaman tentu saja air liurnya keluar tanpa disadari. Keluarnya tentu saja secara refleks. Atau katakan saja refleks bersyarat. Bagi para pengendara kendaraan bermotor tentu akan berhenti ketika dia melihat lampu lalu lintas menyala merah dan bergerak setelah dia melihat lampu lalu lintas menyala hijau. Bagi para perenang dalam suatu perlombaan renang, mereka akan berhenti setelali mencapai finis. Di sekolah, bagi semua anak didik bunyi lonceng dalam frekuensi tertentu sebagai tanda masuk, istirahat atau pulang, maka mereka akan menaatinya.
Beberapa contoh yang dikemukakan di atas bentuk-bentuk kelakuan yang nyata terlihat dalam kehidupan. Bentuk-bentuk kelakuan seperti itu terjadi karena adanya conditioning. Karena kondisinya diciptakan, maka sudah menjadi kebiasaan. Kondisi yang diciptakan itu merupakan syarat, memunculkan refleks bersyarat.
Teori ini bila diterapkan dalam kegiatan belajar juga banyak kelemahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain berikut ini.
1. Percobaan dalam laboratorium berbeda dengan keadaan sebenarnya.
2. Pribadi seseorang (cita-cita, kesanggupan, minat, emosi, dan sebagainya) dapat mempengaruhi hasil eksperimen.
3. Respons mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal. Dengan kata lain, tidak dapat diramalkan lebih dahulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseorang.
4. Teori ini sangat sederhana dan tidak mornuaskan untuk menjelaskan segala seluk-beluk belajar yang teruyata sangat kompleks.

E. Jenis-Jenis Belajar
Walaupun belajar dikatakan berubah, namun untuk mendapatkan perubahan itu bermacam-macam caranya. Setiap perbuatan belajar mempunyai ciri-ciri masing-masing. Para ahli dengan melihat ciri¬ciri yang ada di dalamnya, mencoba membagi jenis-jenis belajar ini, disebabkan perbedaan sudut pandang. Oleh karena itu, sampai saat ini belum ada kesepakatan atau keseragaman dalam merumuskannya. A. De Block misalnya berbeda dengan C. Van Parreren dalam merumuskan sistematika jenis-jenis belajar. Demikian juga antara rumusan sistematika jenis-jenis belajar yang dikemukakan oleh C. Van Parreren dengan Robert M. Gagne.
Jenis-jenis belajar yang diuraikan dalam pembahasan berikut ini merupakan penggabungan dari pendapat ketiga ahli di atas. Walaupun begitu, dari pendapat ketiga para ahli di atas, ada jenis¬jenis belajar tertentu yang tidak dibahas dalam kesempatan ini, dengan pertimbangan sifat buku yang dibahas.
Oleh karena itu, jenis-jenis belajar yang diuraikan berikut ini menyangkut masalah belajar arti kata-kata, belajar kognitif, belajar menghafal, belajar teoretis, belajar kaidah, belajar konsep/pengertian, belajar keterampilan motorik, dan belajar estetik. Untuk jelasnya ikutilah uraian berikut.

1. Belajar Arti Kata-Kata
Belajar arti kata-kata maksudnya adalah orang mulai menangkap arti yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan. Pada mulanya suatu kata sudah dikenal, tetapi belum tahu artinya. Misalnya, pada anak kecil,.dia sudah mengetahui kata "kucing" atau "anjing", tetapi dia belum mengetahui bendanya, yaitu binatang yang disebutkan dengan kata itu. Namun lama kelamaan dia mengetahui juga apa arti kata "kucing" atau "anjing". Dia sudah tahu bahwa kedua binatang itu berkaki empat dan dapat berlari. Suatu ketika melihat seekor anjing dan anak tadi menyebutnya "kucing". Koreksi dilakukan bahwa itu bukan kucing, tetapi anjing. Anak pun akhirnya tahu bahwa anjing itu bertubuh besar dengan telinga yang cukup panjang dan kucing itu bertubuh kecil dengan telinga yang kecil daripada anjing. Dengan begitu, maka kata kucing dapat anak mengerti sebagai simbol dari binatang dengan ciri-ciri tertentu yang dibedakan dari semua binatang, termasuk anjing.
Setiap pelajar atau mahasiswa pasti belajar arti kata-kata tertentu yang belum diketahui. Tanpa hal ini, maka sukar menggunakannya. Kalaupun dapat menggunakannya, tak urung ditemukan kesalahan penggunaan. Mengerti arti kata-kata merupakan dasar terpenting. Orang yang membaca akan mengalami kesukaran untuk memahami isi bacaan. Karena ide-ide yang terpatri dalam suatu kata atau kalimat hanya dapat dipahami dengan mengerti arti setiap kata. Dengan kata-kata itulah, para penulis atau pengarang melukiskan ide-idenya kepada sidang pmbaca. Oleh karena itu, penguasaan arti kata-kata adalah penting dalam belajar.

2. Belajar Kognitif
Tak dapat disangkal bahwa belajar kognitif bersentuhan dengan masalah mental. Objek-objek yang diamati dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambang yang merupakan sesuatu bersifat mental. Misalnya, seseorang menceritakan hasil perjalanannya berupa pengalaman kepada temuannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu di hadapan temannya itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu , dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Gagasan atau tanggapan tentang objek-objek yang dilihat itu dituangkan dalam kata-kata atau kalimat yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
Dalam belajar kognitif, objek-objek yang ditanggapi tidak hanya yang bersifat materiil, tetapi juga yang bersifat tidak materiil. Objek-objek yang bersifat materiil misalnya antara lain, orang, binatang, bangunan, kendaraan, perabot rumah tangga, dan tumbuh¬tumbuhan. Objek-objek yang bersifat tidak materiil misalnya seperti ide kemajuan, keadilan, perbaikan, pembangunan, dan sebagainya.
Bila tanggapan berupa objek-objek materiil dan tidak materiil telah dimiliki, maka seseorang telah mempunyai alam pikirah kognitif. Itu berarti semakin banyak pikiran dan gagasan yang dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang itu.
Belajar kognitif penting dalam belajar. Dalam belajar, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan belajar kognitif. Mana bisa kegiatan mental tidak berproses ketika memberikan tanggapan terhadap objek-objek yang diamati. Sedangkan belajar itu sendiri adalah proses mental yang bergerak ke arah perubahan.

3. Belajar Menghafal
Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal di dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diproduksikan (diingat) kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli. Peristiwa menghafal merupakan proses mental untuk mencamkan dan menyimpan kesan-kesan, yang nantinya suatu waktu bila diperlukan dapat diingat kembali ke alam sadar.
Ciri khas dari hasil belajar/kemampuan yang diperoleh adalah reproduksi secara harfiah dan adanya skema kognitif. Adanya skema
kognitif berarti, hahwa dalam ingatan orang tersimpan secara baik semacam program informasi yang diputar kembali pada waktu dibutuhkan, seperti yang terjadi pada komputer.
Dalam menghafal, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai tujuan, pengertian, perhatian, dan ingatan. Efektif tidaknya dalam menghafal dipengaruhi oleh syarat-syarat tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal tanpa pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia.

4. Belajar Teoretis
Bentuk belajar ini bertujuan untuk menempatkan semua data dan fakta (pengetahuan) dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga dapat dipahami dan digunakan untuk memecahkan prob¬lem, seperti terjadi dalam bidang-bidang studi ilmiah. Maka, diciptakan konsep-konsep, relasi-relasi di antara konsep-konsep dan struktur¬struktur hubungan. Misalnya, "bujur sangkar" mencakup semua bentuk persegi empat; iklim dan cuaca berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman; tumbuh-tumbuhan dibagi dalam genus dan species. Sekaligus dikembangkan metode-metode untuk memecahkan problem-problem secara efektif dan efisien, misalnya dalam penelitian fisika.

5. Belajar Konsep
Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi'terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata (lambang bahasa).
Dalam bentuk belajar ini, orang mengadakan abstraksi, yaitu dalam objek-objek yang meliputi benda, kejadian dan orang, hanya ditinjau pada aspek-aspek tertentu saja. Objek tidak ditinjau dalam semua detailnya, tetapi aspek tertentu seolah-olah diambil, diangkat, dan disendirikan. Misalnya, pada bunga flamboyan, kembang sepatu, bunga anggrek, bunga bangkai, bunga melati, bunga mawar, bunga kenanga, dan sebagainya. Pada semua jenis tumbuhan itu ditemukan sejumlah ciri yang terdapat pada semua bunga-bunga konkret itu, yaitu "mekar, bertangkai, berwarna, sedap dipandang mata, berputik, dan berbenang sari". Sejumlah ciri itu bersama-sama ditangkap atau dikumpulkan dalam pengertian "bunga", yang kemudian dilambangkan dengan kata "bunga". Jadi, konsep bunga itu dalam pengertian mekar, bertangkai, berwarna, sedap dipandang mata, berputik, dan berbenang sari. Dari tetumbuhan dan pepohonan yang mana dan di mana pun selama mempunyai ciri-ciri yang sama yang dikatakan bunga, tetap diberikan pengertian bunga. Dengan demikian, benarlah bahwa konsep/pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri-ciri yang sama. Belajar konsep merupakan salah satu cara belajar dengan pemahaman. Ciri khas dari konsep yang diperoleh sebagai hasil belajar pengertian ini adalah adanya skema konseptual. Skema konseptual adalah suatu keseluruhan kognitif, yang mencakup semua ciri khas yang terkandung dalam suatu pengertian.
Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan: Konsep konkret adalah pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep ini mewakili benda tertentu, seperti meja, kursi, tumbuhan, rumah, mobil, sepeda motor, dan sebagainya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena realitas itu tidak berbadan. Hanya dirasakan adanya melalui proses mental. Misalnya, saudara sepupu, saudara kandung, paman, bibi, belajar, perkawinan, dan sebagainya, adalah kata-kata yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, bahkan dengan mikroskop sekalipun. Untuk memberikan pengertian pada semua kata itu diperlukan konsep yang didefinisikan dengan menggunakan lambang bahasa.
Ahmad adalah saudara sepupu Mahmud; merupakan kenyataan (realitas), tetapi tidak dapat diketahui dengan mengamati Ahmad dan Mahmud. Kenyataan itu dapat diketahui dengan menggunakan lambang bahasa. Kata "saudara sepupu" dijelaskan. Penjelasan atas kata "saudara sepupu" itulah yang dimaksudkan di sini dengan konsep yang didefinisikan. BerdasarkAn konsep yang didefinisikan, didapatkan pengertian, saudara sepupu adalah anak dari paman atau bibi.
Selama menuntut ilmu, para pelajar atau mahasiswa dituntut untuk menguasai konsep kata-kata tertentu. Sebab dengan penguasaan konsep didapatkan pengertian atas kata-kata yang dipelajari. Seseorang yang tidak menguasai konsep kata-kata tertentu akan mengalami kesulitan memahami suatu kalimat yang dibaca. Ini berarti belajar konsep mempunyai arti penting bagi keberhasilan belajar. Dalam mempelajari kaidah-kaidah pun diperlukan penguasaan, atas kata¬kata, sehingga didapatkan pengertian yang jelas, jauh dari verbalisme yang bersifat hafalan belaka. Kaidah itu sendiri adalah penggabungan dari beberapa. konsep yang dihubungkan satu sama lain. Dalam menulis atau mengarang diperlukan penguasaan konsep atas kata¬kata yang dipergunakan. Dalam menjawab soal-soal essey juga diperlukan penguasaan konsep atas kata-kata atau kalimat yang benar, sehingga tidak terjadi kesalahan kata-kata dalam menjawabnya. Banyak hafalan kata-kata tanpa penguasaan konsepnya adalah penguasaan bahan yang baku, jauh dari pengertian. Untuk mendapatkan konsep/pengertian atas kata-kata tertentu, kamus biasanya banyak menolong memecahkannya. Tinggal mencarinya, konsep/pengertian kata-kata apa yang dibutuhkan.
Akhirnya, belajar konsep adalah berpikir dalam konsep dan belajar pengertian. Taraf ini adalah taraf komprehensif. Taraf kedua dalam taraf berpikir. Taraf pertamanya adalah taraf pengetahuan, yaitu belajar reseptif atau menerima.

6. Belajar Kaidah
Belajar kaidah (rule) termasuk dari jenis belajar kemahiran intelektual (intelectual skill), yang dikemukakan oleh Gagne. Belajar kaidah adalah bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang merepresentasikan suatu keteraturan. orang yang telah mempelajari suatu kaidah, mampu menghubungkan beberapa konsep. Misalnya, seseorang berkata, "besi dipanaskan memuai". Karena seseorang telah menguasai konsep dasar mengenai "besi", "dipanaskan" dan "memuai", dan dapat menentukan adanya suatu relasi yang tetap antara ketiga konsep dasar itu (besi, dipanaskan, dan memuai), maka dia dengan yakin mengatakan bahwa "besi dipanaskan memuai".
Selama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi, seseorang akan menemukan kaidah-kaidah. Hal ini harus dipunyai untuk kemajuan belajar. Kaidah-kaidah itu misalnya, "setiap makhluk yang bernyawa pasti mati", "belajar adalah berubah", "udara yank lembab mengakibatkan besi berkarat", "air yang dimasukkan dalam ruang yang bersuhu non-derajat celsius atau kurang dari itu akan membeku", "perkembangan anak dipengaruhi oleh keturunan dan lingkungan", "matahari terbit di timur dan tenggelam di barat", dan sebagainya,
Kaidah adalah suatu pegangan yang tidak dapat diubah-ubah. Kaidah merupakan suatu representasi (gambaran) mental dari kenyataan hidup dan sangat berguna dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kaidah merupakan suatu keteraturan yang berlaku sepanjang masa. Oleh karena itu, belajar kaidah sangat penting bagi seseorang sebagai salah satu upaya penguasaan ilmu selama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi (universitas).
Sejumlah teori yang dipelajari di sekolah atau di perguruan tinggi biasanya dirumuskan dalam bentuk kaidah. Misalnya, "belajar adalah berubah", adalah suatu kaidah yang terdiri dari dua konsep, yaitu "belajar" dan "berubah", "dua kali dua sama dengan empat". Apa pun dan bagaimanapun bentuk rumusan definisi yang dikemukakan, tetap tidak akan mengubah kaidah tersebut. Lihatlah definisi pengertian belajar yang telah diuraikan pada bagian terdahulu (halaman), formulasi kalimatnya berbeda-beda, tetapi kaidahnya sama, yaitu "belajar adalah berubah".
Semoga uraian di atas dapat menjadi penghubung dalam memahami belaiar kaidah-kaidah di dalam menuntut ilmu.

7. Belajar Berpikir
Dalam belajar ini, orang dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan, tetapi tanpa melalui pengamatan dan reorganisasi dalam pengamatan. Masalah harus dipecahkan melalui operasi mental, khususnya menggunakan konsep dan kaidah serta metode¬metode bekerja tertentu.
Belajar berpikir sangat diperlukan selama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi. Masalah dalam belajar terkadang ada yang harus dipecahkan seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Pemecahan atas masalah itulah yang memerlukan pemikiran. Berpikir itu sendiri adalah kemampuan jiwa untuk meletakkan hubungan antara bagian¬bagian pengetahuan. Ketika berpikir dilakukan, maka di sana terjadi suatu proses. Oleh karena itulah, John Dewey dan Wertheimer memandang berpikir sebagai proses. Dalam proses itu tekanannya terletak pada penyusunan kembali kecakapan kognitif (yang bersifat ilmu pengetahuan).
Dalam konteks ini ada istilah berpikir konvergen dan berpikir divergen. Berpikir konvergen adalah berpikir menuju satu arah yang benar atau satu jawaban yang paling tepat atau satu pemecahan dari suatu masalah. Berpikir divergen adalah berpikir dalam arah yang berbeda-beda, akan diperoleh jawaban-jawaban unit yang berbeda¬beda, tetapi benar.
Konsep Dewey tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Adanya kesulitan yang dirasakan dan kesadaran akan adanya masalah.
b. Masalah itu diperjelas dan dibatasi.
c. Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan.
d. Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis¬
e. hipotesis, kemudian hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji agar dapat ditentukan untuk diterima atau ditolak.
f. Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus
g. berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada kesimpulan.
Menurut Dewey, langkah-langkah dalam pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Kesadaran akan adanya masalah.
b. Merumuskan masalah.
c. Mencari data dan merumuskan hipotesis-hipotesis.
d. Menguji hipotesis-hipotesis itu. e. Menerima hipotesis yang benar.
Meskipun diperlukan langkah-langkah, menurut Dewey, tetapi pemecahan masalah itu tidak selalu mengikuti urutan yang teratur, melainkan dapat meloncat-loncat antara macam-macam langkah tersebut. Lebih-lebih apabila orang berusaha memecahkafi masalah¬masalah yang kompleks.
Setiap pemecahan masalah memerlukan taraf berpikir. Ini membuktikan bahwa taraf berpikir itu sendiri bermacam-macam, yaitu taraf berpikir pengetahuan, komprehensif, aplikasi, analisis, dan sintesis, serta evaluasi. Sekiranya tiap taraf berpikir ini dihubungkan, dengan macam bentuk pelajaran, maka terlihat dengan jelas dalam skema berikut dan hendaknya skema itu dibaca dari bawah ke atas.

Taraf Nama Taraf Berfikir Macam Kerja Pikit yang Diajarkan
5


4


3

2


1 Evaluasi


Analisis dan sintesis


Aplikasi

Komprehensif


Pengetahuan Berfikir kreatif atau berpikir memecahkan masalah

Berfikir menguraikan dan menggabungkan

Berpikir menerapkan

Berpikir dalam konsep dan belajar pengertian

Belajar resptif atau menerima


Setiap taraf berpikir tersebut akan melahirkan belajar yang berbeda, dengan hasil yang berbeda pula. Selain itu terlihat pula bahwa semakin ke atas semakin besar persentase tuntutan kerja pikir. Lebih jelas tentang hal ini, lihat gambar berikut:


5 Berpikir kreatif

4 Berpikir menganalisis dan membuat sintesis

3 Berpikir menerapkan

2 Berpikir dalam konsep

1 Belajar menerima

Gambar di atas memperlihatkan tentang dari belajar menuju kerja pikir dengan berbagai tarafnya. Pada taraf belajar menerima (taraf pertama) hampir tidak ada kerja pikir. Sedangkan pada taraf kelima, praktis seluruhnya adalah kerja pikir. Sebenarnya pada taraf¬taraf itu ada semacam kesinambungan dari taraf belajar menuju taraf kerja pikir. Dengan "belajar" dimaksudkan peniruan secara lengkap, sedangkan dengan berpikir dimaksudkan kerja kreatif secara lengkap. Sebagaimana tertera pada gambar di atas, di situ tidak ada peniruan sepenuhnya dan juga tidak ada kerja pikir kreatif sepenuhnya. Memang semakin tinggi tarafnya akan semakin banyak tuntutan kerja pikir yang diperlukan. Tetapi tidak,mungkin sepenuhnya kerja pikir saja. Selalu ada unsur mengingat dan menirukan.

8. Belajar Keterampilan Motorik (Motor Skill)
Orang yang memiliki suatu keterampilan motorik, mampu melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota
badan secara terpadu. Keterampilan semacam ini disebut "motorik", karena otot, urat dan persendian terlibat secara langsung, sehingga keterampilan sungguh-sungguh berakar dalam kejasmanian. Ciri khas dari keterampilan motorik adalah "otomatisme", yaitu rangkaian gerak-gerik berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar dan supel, tanpa dibutuhkan banyak refleksi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa diikuti urutan gerak-gerik tertentu. Misalnya, seorang sopir sudah menguasai keterampilan mengendarai kendaraannya sedemikian rupa, sehingga konsentrasinya tidak seluruhnya termakan oleh penanganan peralatan lalu-lintas di jalan.
Dalam kehidupan manusia, keterampilan motorik memegang peranan sangat pokok. Seorang anak kecil sudah harus menguasai berbagai keterampilan motorik, seperti mengenakan pakaiannya sendiri, mempergunakan alat-alat makan, mengucapkan bunyi-bunyi yang berarti, sehingga dapat berkomunikasi dengan saudara-saudara, dan sebagainya. Pada waktu masuk sekolah dasar, anak memperoleh keterampilan-keterampilan baru, seperti menulis dengan memegang alat tulis dan membuat gambar-gambar; keterampilan-keterampilan ini menjadi bekal dalam perkembangan kognitifnya. Sewaktu anak di sekolah menengah, dia masih mendapat pelajaran mengembangkan keterampilan motorik, seperti berolah raga. Banyak pula tersedia kursus yang mengajarkan berbagai keterampilan motorik, seperti mengendarai mobil, mengetik, menjahit, dan sebagainya.

9. Belajar Estetis
Bentuk belajar ini bertujuan membentuk kemampuan menciptakan dan menghayati keindahan dalam berbagai bidang kesenian. Belajar ini mencakup fakta, seperti nama Mozart sebagai penggubah musik klasik; konsep-konsep, seperti ritme, tema dan komposisi; relasi¬relasi, seperti hubungan antara bentuk dan isi; struktur-struktur, seperti sistematika warna dan aliran-aliaran dalam seni lukis; metode-metode, seperti menilai mutu dan originalitas suatu karya
seni.

F. Aktivitas-Aktivitas Belajar
Belajar bukanlah berproses dalam kehampaan. Tidak pula pernah sepi dari berbagai aktivitas. Tidak pernah terlihat orang yang belajar tanpa melibatkan aktivitas raganya. Apalagi bila aktivitas belajar itu berhubungan dengan masalah belajar menulis, mencatat, memandang, membaca, mengingat, berpikir, latihan atau praktek, dan sebagainya.
Dalam belajar, seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari suatu situasi. Situasi akan menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan aktivitas belajar apa yang dilakukan kemudian. Setiap situasi di manapun dan kapanpun memberikan kesempatan belajar kepada seseorang. Oleh karena itulah, berikut ini dibahas beberapa aktivitas belajar, sebagai berikut.

1. Mendengarkan
Mendengarkan adalah salah satu aktivitas belajar. Setiap orang yang belajar di sekolah pasti ada aktivitas mendengarkan. Ketika seorang guru menggunakan metode ceramah, maka setiap siswa atau mahasiswa diharuskan mendengarkan apa yang guru (dosen) sampaikan. Menjadi pendengar yang baik dituntut dari mereka. Di sela-sela ceramah itu, ada aktivitas mencatat hal-hal yang dianggap penting.
Dalam mendengarkan apa yang diceramahkan itu tidak dibenarkan adanya hal-hal yang mengganggu jalannya ceramah. Karena hal itu bisa mengganggu konsentrasi belajar. Namun apa hendak dikata dan diperbuat untuk menghindarinya, karena pada waktu tertentu selalu ada saja gangguan itu. Gangguan dalam belajar memang selalu ada dan tidak mungkin untuk dikikis habis. Hanya yang dapat dilakukan Rdalah memperkecil kemungkinan munculnya gangguan dalam belajar itu. Lingkungan yang selalu kurang bersahabat selalu menimbulkan gangguan bagi para pelajar atau mahasiswa. Dan hal itu harus disadari agar tidak menimbulkan frustrasi.
Diakui memang bahwa aktivitas mendengarkan bukan satu¬satunya aktivitas belajar. Hal ini disebabkan karena ada orang yang tuna rungu yang belajar tidak mempergunakan aktivitas mendengarkan, tetapi hanya melalui visual (penglihatan). Mereka belajar hanya melalui gerakan-gerakan tangan dengan menggunakan simbol-simbol tertentu yang telah dibakukan, seperti yang.sering terlihat di TV pada acara dunia dalam berita, seorang lelaki atau wanita tampil dengan menggerak-gerakkan tangannya mengiringi berita yang disiarkan.
Sungguhpun begitu, tidak dapat disangkal bahwa aktivitas mendengarkan adalah aktivitas belajar yang diakui kebenarannya dalam dunia pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan formal persekolahan, ataupun non-formal. Apabila dalam kerangka pemerataan pendidikan, maka anak-anak tuna rungu perlu diperhatikan secara intensif agar tidak ada lagi penyakit kebodohan. Itulah nilai strategis aktivitas mendengarkan dalam belajar.

2. Memandang
Memandang adalah mengarahkan penglihatan ke suatu objek. Aktivitas memandang berhubungan erat dengan mata. Karena dalam memandang itu matalah yang memegang peranan penting. Tanpa mata tidak mungkin terjadi aktivitas memandang dapat dilakukan. Orang buta pasti tidak dapat melihat. Maka dia tidak bisa memandang sesuatu yang menjadi kebutuhannya.
Dalam pendidikan, aktivitas memandang terrnasuk dalam kategori aktivitas belajar. Di kelas, seorang pelajar memandang papan tulis yang berisikan tulisan yang baru saja guru tulis. Tulisan yang pelajar pandang itu menimbulkan kesan dan selanjutnya tersimpan dalam otak. Lingkungan sekolah merupakan suatu lingkungan yang dipandang sebagai lingkungan pendidikan. Jadi bila digunakan untuk tujuan perubahan tingkah laku pelajar yang relatif permanen, ,juga belajar dari lingkungan. Memandang semua lingkungan sekolah itu adalah belajar untuk membentuk kepribadian pelajar.
Tapi perlu diingat bahwa tidak semua aktivitas memandang berarti belajar. Aktivitas memandang dalam arti belajar di sini adalah aktivitas memandang yang bertujuan sesuai dengan kebutuhan untuk mengadakan perubahan tingkah laku yang positif. Aktivitas memandang tanpa tujuan bukanlah termasuk perbuatan belajar. Meski pandangan tertuju pada suatu objek, tetapi tidak adanya tujuan yang ingin dicapai, maka pandangan yang demikian tidak termasuk belajar.

3. Meraba, Membau, dan Mencicipi/Mengecap
Aktivitas meraba, membau, dan mengecap adalah indra manusia yang dapat dijadikan sebagai alat untuk kepentingan belajar. Artinya aktivitas meraba, membau, dan mengecap dapat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Tentu saja aktivitasnya harus disadari oleh suatu tujuan. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas meraba, aktivitas membau, ataupun aktivitas mengecap dapat dikatakan belajar, apabila semua aktivitas itu didorong oleh kebutuhan, motivasi untuk mencapai tujuan dengan menggunakan situasi tertentu untuk memperoleh perubahan tingkah laku.

4. Menulis atau Mencatat
Menulis atau mencatat merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari aktivitas belajar. Dalam pendidikan tradisional kegiatan mencatat merupakan aktivitas yang seeing dilakukan. Walaupun pada waktu tertentu seseorang harus mendengarkan isi ceramah, namun dia tidak bisa mengabaikan masalah mencatat hal-hal yang dianggap penting. Setiap orang mempunyai cara tertentu dalam mencatat pelajaran. Demikian juga dalam hal memilih pokok-pokok pikiran yang dianggap penting. Hal ini disebabkan ilmu pengetahuan yang seseorang miliki berbeda-beda, sehingga berbeda pula dalam menilai bahan yang akan dicatat.
Perlu diketahui bahwa tidak setiap mencatat adalah belajar. Aktivitas mencatat yang bersifat menurut, menciplak atau mengcopy tidak dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar. Mencatat yang termasuk sebagai aktivitas belajar yaitu apabila dalam mencatat itu orang menyadari kebutuhan dan tujuannya, serta menggunakan seperangkat tertentu agar catatan itu nantinya berguna bagi pencapaian tujuan belajar.
Dalam mencatat tidak sekadar mencatat, tetapi mencatat yang dapat menunjang pencapaian tujuan belajar. Maka dari itu jangan membuat catatan sembarangan, sebab bisa mendatangkan kerugian material dan pemikiran. Akibat lainnya adalah akan sia-sialah catatan itu, karena tidak bisa digunakan untuk kepentingan kemajuan dan kesuksesan studi.

Catatan sangat berguna untuk menampung sejumlah informasi, yang tidak hanya bersifat fakta-fakta, melainkan juga terdiri atas materi hasil analisis dari bahan bacaan.

5. Membaca
Aktivitas membaca adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan selama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi. Membaca di sini tidak mesti membaca buku belaka, tetapi juga membaca majalah, koran, tabloid, jurnal-jurnal hasil penelitian, catatan hasil belajar atau kuliah, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan studi.
Kalau belajar adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, maka membaca adalah jalan menuju ke pintu ilmu pengetahuan. Ini berarti untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tidak ada cara lain yang harus dilakukan kecuali memperbanyak membaca. Kalau begitu membaca identik dengan mencari ilmu pengetahuan agar menjadi cerdas, dan mengabaikannya berarti kebodohan.
Cara dan teknik seseorang dalam membaca selalu menunjukkan perbedaan pada hal-hal tertentu. Oleh karena itu, wajarlah bila belajar itu suatu seni, sama halnya mengajar adalah seni (teaching as an art). Ada orang yang membaca buku sambil tidur-tiduran dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku sambil mendengarkan radio dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku tanpa suara dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku dengan suara dapat belajar dengan baik, ada orang yang membaca buku di antara keributan dapat belajar dengan baik, dan sebagainya. Pendek kata, orang membaca buku dengan berbagai cara agar dapat belajar. Dengan demikian, pemahaman atas diri sendiri sangat penting, sehingga dapat memilih teknik yang mana yang lebih sesuai dengan karakteristik pribadi, dengan tidak mengabaikan pola-pola umum dalam belajar.

6. Membuat Ikhtisar atau Ringkasan dan Menggarisbawahi
Banyak orang yang merasa terbantu dalam belajarnya karena menggunakan ikhtisar-ikhtisar materi yang dibuatnya. Ikhtisar atau ringkasan ini memang dapat membantu dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam buku untuk masa-masa yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang intensif, bagaimanapun juga hanya membuat ikhtisar adalah belum cukup. Sementara membaca, pada hal-hal yang penting perlu diberi garis bawah (underlining). Hal ini sangat membantu dalam usaha menemukan kembali materi itu di kemudian hari, bila diperlukan.

7. Mengamati Tabel-Tabel, Diagram-Diagram dan Bagan-Bagan
Dalam buku ataupun di lingkungan lain sering dijumpai tabel¬tabel, diagram, ataupun bagan-bagan. Materi non-verbal semacam ini sangat berguna bagi seseorang dalam mempelajari materi yang relevan. Demikian pula gambar-gambar, peta-peta, dan lain-lain dapat menjadi bahan ilustratif yang membantu pemahaman seseorang tentang sesuatu hal.
Semua tabel, diagram, dan bagan dihadirkan di buku tidak lain adalah dalam rangka memperjelas penjelasan yang penulis uraikan. Penulis sadar bahwa penjelasan yang dibuat tidak dapat memberikan gambaran kesan yang baik bila tidak dibantu dengan menghadirkan tabel, diagram, atau bagan. Dengan menghadirkan tabel, diagram, atau bagan dapat menumbuhkan pengertian dalam waktu yang relatif singkat. Tabel, diagram, atau bagan biasanya diletakkan tidak jauh dari tulisan yang dibuat oleh penulis buku. Oleh karena itu, masalah tabel, diagram, atau bagan ini jangan diabaikan untuk diamati, karena ada hal-hal tertentu yang tidak termasuk dalam penjelasan melalui tulisan.

8. Menyusun Paper atau Kertas Kerja
Bila pembicaraan ini memasalahkan penyusunan paper, maka hal ini berhubungan erat dengan masalah tulis menulis. Penulisan yang baik sesuai dengan prosedur ilmiah dituntut dalam penulisan paper ini. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dituntut, sehingga menghasilkan karya tulis yang bermutu tinggi.
Dalam menyusun paper tidak bisa sembarangan, tetapi harus metodologis dan sistematis. Metodologis artinya menggunakan metode¬metode tertentu dalam penggarapannya. Sistematis artinya menggunakan kerangka berpikir yang logis dan kronologis.
Ketika seseorang ingin membuat paper, bukan harus mempersoalkan judulnya, tetapi yang hares dipermasalahkan adalah masalahnya. Masalah itulah topik yang harus dianggap sebagai masalah. Dari masalah/topik dapat dikembangkan menjadi judill, bukan dari judul baru timbul masalah.
Masalah yang ditemukan itu hares dikuasai, sehingga mudah menggarapnya. Penguasaan atas masalah sangat berguna ketika akan membuat kerangka paper. Cukup banyak orang yang tidak mampu menyusun paper hanya terbentur dengan masalah bagaimana menyusun kerangka paper. Hal ini terjadi disebabkan kurangnya penguasaan atas masalah yang akan digarap.
Untuk dapat menguasai masalah tersebut tentu saja harus digali dari sumbernya. Salah satu sumber masalah itu adalah buku. Carilah buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan digarap. Lihatlah daftar isi dan seleksilah mana yang berhubungan dengan masalah yang digarap.
Sumber teoretis yang diambil dari buku tidak bisa diambil sembarangan, tetapi harus menurut aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dunia ilmiah telah mengeluarkan aturan seperti di antaranya kutipan langsung dan kutipan tidak langsung, ibid, loc. cit., atau op. cit.
Uraian di atas termasuk ke dalam kategori aktivitas belajar. Sedangkan yang tidak termasuk ke dalam aktivitas belajar adalah mengopi hasil karya orang lain, menciplak paper atau skripsi orang lain. Meskipun perbuatan ini adalah perbuatan tercela dan dianggap pelacuran ilmiah, tetapi ada saja orang-orang tertentu yang menganggapnya sebagai hal biasa dan anehnya tidak merasa bersalah. Maka adalah penting menumbuhkan dan mengembangkan sikap ilmiah dalam diri siswa atau mahasiswa, agar dunia ilmiah tidak lagi tercemar.

9. Mengingat
Mengingat merupakan gejala psikologis. Untuk mengetahui bahwa seseorang sedang mengingat sesuatu, dapat dilihat dari sikap dan perbuatannya. Perbuatan mengingat dilakukan bila seseorang sedang mengingat-ingat kesan yang telah dipunyai.
Ingatan itu sendiri adalah kemampuan jiwa untuk memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali (re¬membering) hal-hal yang telah lampau. Jadi, mengenai ingatan tersebut ada tiga fungsi, yaitu: memasukkan, menyimpan, dan mengangkat kembali ke alam sadar.
Ingatan (memory) seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat seseorang, alam sekitar, keadaan jasmani, keadaan rohani (jiwa), dan umur seseorang.
Mengingat adalah salah satu aktivitas belajar. Tidak ada seorang pun yang tidak pernah mengingat dalam belajar, kecuali orang gila yang tidak pernah belajar selama mengalami kegilaan. Karena orang gila tidak akan dapat mengingat kesan dari sikap dan perbuatannya dalam kegilaan itu. Perbuatan mengingat jelas sekali terlihat ketika seseorang sedang menghafal bahan pelajaran, berupa dalil, kaidah, pengertian, rumus, dan sebagainya.

10. Berpikir
Berpikir adalah termasuk aktivitas belajar. Dengan berpikir orang memperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya orang meniadi tahu tentang hubungan antara sesuatu. Berpikir bukanlah sembarang berpikir, tetapi ada taraf tertentu, dari taraf berpikir yang rendah sampai taraf berpikir yang tinggi. Lebih jelas mengenai hal ini dapat dilihat kembali pembahasan mengenai jenis-jenis belajar, yang membicarakan masalah belajar berpikir. Dan pembicaraan mengenai masalah aktivitas berpikir ini hingga di sini, dengan pertimbangan dapat dibaca pada pembahasan mengenai belajar berpikir di depan.

11. Latihan atau Praktek
Learning by doing adalah konsep belajar yang menghendaki adanya penyatuan usaha mendapatkan kesan-kesan dengan cara berbuat. Belajar sambil berbuat dalam hal ini termasuk latihan. Latihan termasuk cara yang baik untuk memperkuat ingatan. Misalnya, seseorang yang mempelajari rumus matematika atau rumus bahasa Inggris. Kemungkinan besar rumus-rumus itu akan mudah terlupakan bila tidak didukung dengan latihan. Di sinilah diperlukan latihan sebanyak-banyaknya. Dengan banyak latihan kesan-kesan yang diterima lebih fungsional. Dengan demikian, aktivitas latihan dapat mendukung belajar yang optimal.