Jumat, 24 April 2009

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Pada bagian terdahulu telah diuraikan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.
Perubahan yang terjadi itu sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah dilakukan oleh individu. Perubahan itu adalah hasil yang telah dicapai dari proses belajar. Jadi, untuk mendapatkan hasil belajar dalam bentuk "perubahan" harus melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan di luar inidividu. Proses di sini tidak dapat dilihat karena bersifat psikologis. Kecuali bila seseorang telah berhasil dalam belajar, maka seseorang itu telah mengalami proses tertentu dalam belajar. Oleh karena itu, proses belajar telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat disimpulkan dari hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan. Misalnya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak berilmu menjadi berilmu, dan sebagainya.
Noehi Nasution, dan kawan-kawan (1993: 3) memandang belajar itu bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri. Mereka berkesimpulan ada unsur-unsur lain yang ikut terlibat langsung di dalamnya, yaitu raw input, learning teaching process, output, inviromental input, dan instrumental input.
Masukan mentah (raw input) merupakan bahan pengalaman belajar tertentu/ dalam proses belajar mengajar (learning teaching process) dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (output) dengan kualifikasi tertentu. Di dalam proses belajar mengajar itu ikut berpengaruh sejumlah faktor lingkungan, yang merupakan masukan dari lingkungan (environmental input) dan sejumlah faktor instrumental (instrumental input) yang dengan sengaja dirancang dan dimanipulasikan guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki.

A. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan anak didik. Dalam lingkunganlah anak didik hidup dan berinteraksi dalam mata rantai kehidupan yang disebut ekosistem. Saling ketergantungan antara lingkungan biotik dan abiotik tidak dapat dihindari. Itulah hukum alam yang harus dihadapi oleh anak didik sebagai makhluk hidup yang tergolong kelompok biotik.
Selama hidup anak didik tidak bisa menghindarkan diri dari lingkungan alami dan lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua lingkungan yang berbeda ini selalu terjadi dalam mengisi kehidupan anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap belajar anak didik di sekolah. Oleh karena kedua lingkungan ini akan dibahas satu demi satu dalam uraian berikut.

1. Lingkungan Alami
Lingkungan hidup adalah lingkungan tempat tinggal anak didik, hidup dan berusaha di dalamnya. Pencemaran lingkungan hidup merupakan malapetaka bagi anak didik yang hidup di dalamnya. Udara yang tercemar merupakan polusi yang dapat menganggu pernapasan. Udara yang terlalu dingin menyebabkan anak didik kedinginan. Suhu udara yang terlalu panas menyebabkan anak didik kepanasan, pengap, dan tidak betah tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, keadaan suhu dan kelembaban udara berpengaruh terhadap belajar anak didik di sekolah. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap. Berdasarkan kenyataan yang demikian, orang cenderung berpendapat bahwa belajar di pagi hari akan lebih baik hasilnya daripada belajar pada sore hari. Kesejukan udara dan ketenangan suasana kelas diakui sebagai kondisi lingkungan kelas yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan.
Lingkungan sekolah yang baik adalah lingkungan sekolah yang di dalamnya dihiasi dengan tanaman/pepohonan yang dipelihara dengan baik. Apotik hidup dikelompokkan dengan baik dan rapi sebagai laboratorium alam bagi anak didik. Sejumlah kursi dan meja belajar teratur rapi yang ditempatkan di bawah pohon-pohon tertentu agar anak didik dapat belajar mandiri di luar kelas dan berinteraksi dengan lingkungan. Kesejukan lingkungan membuat anak didik betah tinggal berlama-lama di dalamnya. Begitulah lingkungan sekolah yang dikehendaki. Bukan, lingkungan sekolah yang gersang, pengap, tandus, dan pangs yang berkepanjangan. Oleh karena itu, pembangunan seko1ah sebaiknya berwawasan lingkungan, bukan memusuhi lingkungan.
Pengalaman telah banyak membuktikan bagaimana panasnya lingkungan kelas, di mana suatu sekolah yang miskin tanaman atau pepohonan di sekitarnya. Anak didik gelisah hati untuk keluar kelas lebih besar daripada mengikuti pelajaran di dalam kelas. Daya konsentrasi menurun akibat suhu udara yang panas. Daya serap semakin melemah akibat kelelahan yang tak terbendung.

2. Lingkungan Sosial Budaya
Pendapat yang tak dapat disangkal adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk homo socius. Semacam makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama satu sama lainnya. Hidup dalam kebersamaan dan saling membutuhkan akan melahirkan interaksi sosial. Saling memberi dan saling menerima merupakan kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan sosial. Berbicara, bersenda gurau, memberi nasihat, dan bergotong royong merupakan interaksi sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Sebagai anggota masyarakat, anak didik tidak bisa melepaskan diri dari ikatan sosial. Sistem sosial yang terbentuk mengikat perilaku anak didik untuk tunduk pada norma-norma sosial, susila, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Demikian juga halnya di sekolah. Ketika anak didik berada di sekolah, maka dia berada dalam sistem sosial di sekolah. Peraturan dan tata tertib sekolah harus anak didik taati. Pelanggaran yang dilakukan oleh anak didik akan dikenakan sanksi sesuai dengan jenis dan berat ringannya pelanggaran. Lahirnya peraturan sekolah bertujuan untuk mengatur dan membentuk perilaku anak didik yang menunjang keberhasilan belajar di sekolah.
Lingkungan sosial budaya di luar sekolah temyata sisi kehidupan yang mendatangkan problem tersendiri bagi kehidupan anak didik di sekolah. Pembangunan gedung sekolah yang tak jauh dari hiruk pikuk lalu lintas menimbulkan kegaduhan suasana kelas. Pabrik¬-pabrik yang didirikan di sekitar sekolah dapat menimbulkan kebisingan di dalam kelas. Keramaian sayup-sayup terdengar oleh anak didik di dalam kelas. Bagaimana anak didik dapat berkonsentrasi dengan baik bila berbagai gangguan itu selalu terjadi di sekitar anak didik. Jangankan berbagai gangguan dari peristiwa di luar sekolah, ada seseorang yang hilir mudik di sekitar anak pun, dia tak mampu untuk berkonsentrasi dengan baik. Bercakap-cakap di sekitar anak yang sedang belajar, juga dapat membuyarkan konsentrasinya dalam belajar. Suara bising dari knalpot kendaraan bermotor tak jarang mengejutkan anak didik yang sedang berkonsentrasi menerima materi pelajaran dari guru. Representasi sesuatu dalam wujud potret atau tulisan diakui dapat mengganggu kegiatan belajar anak didik.
Mengingat pengaruh yang kurang menguntungkan dari lingkungan pabrik, pasar, dan arus lalu lintas tentu akan sangat bijaksana bila pembangunan gedung sekolah di tempat yang jauh dari lingkungan pabrik, pasar, arus lalu lintas, dan sebagainya.

B. Faktor Instrumental
Setiap sekolah mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan tentu saja pada tingkat kelembagaan. Dalam rangka melicinkan ke arah itu diperlukan seperangkat kelengkapan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Semuanya dapat diberdayagunakan menurut fungsi masing-masing kelengkapan sekolah. Kurikulum dapat dipakai oleh guru dalam merencanakan program pengajaran. Program sekolah dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar. Sarana dan fasilitas yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya agar berdaya guna dan berhasil guna bagi kemajuan belajar anak didik di sekolah.

1. Kurikulum
Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan kelas, kalau guru belum meprogramnya. Itulah sebabnya, untuk semua mata pelajaran, setiap guru memiliki kurikulum untuk mata pelajaran yang dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Muatan kurikulum akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi belajar anak didik. Seorang guru terpaksa menjejalkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik dalam waktu yang masih sedikit tersisa, karena ingin mencapai target kurilkulum, akan memaksa anak didik belajar dengan keras tanpa mengenal lelah. Padahal anak didik sudah lelah belajar ketika itu. Tentu saja hasil belajar yang demikian kurang memuaskan dan cenderung mengecewakan. Guru akan mendapatkan hasil belajar anak didik di bawah standar minimum. Hal ini disebabkan telah terjadi proses belajar yang kurang wajar pada diri setiap anak didik. Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu yang disediakan relatif sedikit secara psikologis disadari atau tidak menggiring guru pada pilihan untuk melaksanakan percepatan belajar anak didik untuk mencapai target kurikulum. Tentang penguasaan anak didik terhadap bahan pelajaran tidak menjadi soal, yang penting target kurikulum telah tercapai. Itu berarti kewajiban mengajar sudah selesai. Sungguh hal ini tidak harus terjadi bila ingin meningkatkan kualitas belajar mengajar.
Untuk mencapai target penguasaan kurikulum oleh anak didik terkadang dirasakan begitu sukar. Faktor sejarah pendidikan masa lalu yang menjadi akar permasalahannya. Sebelum melanjutkan sekolah, anak didik telah dididik dalam lingkungan sekolah dengan sistem pendidikan yang kurang baik, maka anak didik akan mengalami kesukaran untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Ada mata pelajaran tertentu yang sangat sukar untuk diserap dan dicerna oleh anak didik. Boleh jadi mata pelajaran itu sangat dibenci oleh anak didik karena sesuatu hal. Guru tidak dapat banyak berharap kepada anak didik seperti ini untuk mencapai target penguasaan kurikulum.
Jadi, kurikulum diakui dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik di sekolah.

2. Program
Setiap sekolah mempunyai program pendidikan. Program pendidikan disusun untuk dijalankan demi kemajuan pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya program pendidikan yang dirancang. Program pendidikan disusun berdasarkan potensi sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, dan sarana prasarana.
Bervariasinya potensi yang tersedia melahirkan program pendidikan yang berlainan untuk setiap sekolah. Untuk program pendidikan yang bersifat umum masih terdapat persamaan, tetapi untuk penjabaran program pendidikan menjadi bagian-bagian pro¬gram kecil bagian dan subbagian ada perbedaan. Tenaga finansial, dan sarana prasarana merupakan biang dari perbedaan itu.
Dari perbedaan program pendidikan di atas tidak dapat dihindari adanya perbedaan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran antara sekolah yang kekurangan guru dan sekolah yang memiliki guru yang lengkap berbeda. Sekolah yang tidak kekurangan tentu lebih baik kualitas pengajarannya daripada sekolah yang kekurangan guru. Karena tidak ada mata pelajaran yang terbengkalai karena ketiadaan guru. Apalagi bila mata pelajaran yang dipegang guru itu sesuai latar belakang pendidikannya. Setiap guru yang memegang mata pelajaran itu mempunyai togas dan tanggung jawab untuk membina dan membimbing setiap anak didik secara individual atau berkelompok agar mencapai prestasi optimal dalam belajar.
Program bimbingan dan penyuluhan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar anak didik di sekolah. Tidak semua anak didik sepi dari masalah kesulitan belajar. Bervariasinya nilai kuantitatif di dalam buku rapor sebagai bukti bahwa tingkat penguasaan bahan pelajaran oleh anak didik yang bermacam-macam. Bantuan mutlak diberikan kepada anak didik yang bermasalah agar mereka tenang dan bergairah dalam belajar. Ketiadaan tenaga bimbingan dan penyuluhan tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan bantuan dalam usaha mengeluarkan anak didik dari kesulitan belajar. Wali kelas atau dewan guru dapat berperan sebagai penyuluh yang memberikan penyuluhan bagaimana cara mengutaai kesulitan belajar dan bagaimana cara belajar yang baik dan benar kepada anak didik.
Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi ke mana proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak didik digiring ke suatu aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Penyimpangan perilaku anak didik dari aktivitas belajar dapat menghambat keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Itu berarti guru tidak berhasil membelajarkan anak didik. Akibatnya, anak didik tidak menguasai bahan pelajaran yang diberikan itu. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna bagi guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan sendiri dan kata-kata atau kalimat yang dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke arah penguasaan materi seefektif dan seefisien mungkin.

3. Sarana dan Fasilitas
Sarana mempunyai arti penting dalam pendidikan. Gedung sekolah misalnya sebagai tempat yang strategis bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satu persyaratan untuk membuat suatu sekolah adalah pemilikan gedung sekolah yang di dalamnya ada ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang dewan guru, ruang perpustakaan, ruang BP, ruang tata usaha, auditorium, dan halaman sekolah yang memadai. Semua bertujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan anak didik.
Suatu sekolah yang kekurangan ruang kelas, sementara jumlah anak didik yang dimiliki dalam jumlah yang banyak melebihi daya tampung kelas, akan banyak menemukan masalah. Kegiatan belajar mengajar berlangsung kurang kondusif. Pengelolaan kelas kurang efektif. Konflik antar anak didik sukar dihindari. Penempatan anak didik secara proporsionaf sering terabaikan. Pertimbangan material dengan menerima anak didik yang masuk dalam jumlah yang banyak, melebihi kapasitas kelas adalah kebijakan yang cenderung mengabaikan aspek kualitas pendidikan. Hal ini harus dihindari bila ingin bersaing dalam peningkatan mutu pendidikan.
Gedung sekolah yang berada di dua tempat yang berjauhan cenderung sukar dikelola. Pengawasan sukar dilaksanakan dengan efektif. Kepala sekolah harus bergilir waktu untuk mengunjungi sekolah binaannya yang berada di dua tempat itu. Guru yang akan mengajar merasa kurang tenang karena harus diburu-buru waktu. Pembagian jadwal mengajar sukar disusun karena penyusunannya harus mempertimbangkan jauh dekatnya sekolah yang harus dituju. Belum lagi untuk melayani keinginan guru tertentu yang hanya ingin mengajar pada kelas-kelas tertentu dan tidak ingin ke sana ke mari.
Selain masalah sarana, fasilitas juga kelengkapan sekolah yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Lengkap tidaknya buku-buku di perpustakaan ikut menentukan kualitas suatu sekolah. Perpustakaan sekolah adalah laboratorium ilmu. Tempat ini harus menjadi "sahabat karib" anak didik. Di sekolah, kapan dan di mana ada waktu luang anak didik harus datang ke sana untuk membaca buku atau meminjam buku demi keberhasilan belajar.
Buku pegangan anak didik harus lengkap sebagai penunjang kegiatan belajar. Dengan pemilikan buku sendiri anak didik dapat membaca sendiri kapan dan di manapun ada kesempatan, entah di sekolah, entah di rumah, entah di bawah pohon di pekarangan sekolah, dan sebagainya. Pihak sekolah dapat membantu anak didik dengan meminjami anak sejumlah buku yang sesuai dengan kurikulum. Dengan pemberian fasilitas belajar tersebut diharapkan kegiatan belajar anak didik lebih bergairah. Tidak ada alasan bagi anak didik untuk tidak berprestasi dalam belajar karena bukunya sudah dipinjami oleh pihak sekolah. Kecuali karena faktor lain bukan karena ketiadaan buku.
Fasilitas mengajar merupakan kelengkapan mengajar guru yang harus dimiliki oleh sekolah. Ini kebutuhan guru yang tak bisa dianggap ringan. Guru harus memiliki buku pegangan dan buku penunjang agar wawasan guru tidak sempit. Buku kependidikan/keguruan perlu dibaca atau dimiliki oleh guru dalam rangka peningkatan kompetensi keguruan. Alat peraga yang guru perlukan harus sudah tersedia di sekolah agar guru sewaktu-waktu dapat menggunakannya sesuai dengan metode mengajar yang akan dipakai dalam penyampaian bahan pelajaran di kelas. Lengkap tidaknya fasilitas sekolah membuka peluang bagi guru untuk lebih kreatif mengajar. Guru dapat membimbing anak didik melakukan percobaan di laboratorium. Alat peraga dapat guru gunakan untuk membantu menjelaskan suatu proses atau cara kerja suatu mesin, yang tak dapat diwakilkan melalui kata-kata atau kalimat. Demikianlah, fasilitas mengajar sangat membantu guru dalam menunaikan tugasnya mengajar di sekolah.
Kualitas anak didik yang berada dari sekolah model pasti berbeda dengan kualitas anak didik yang berasal dari sekolah biasa. Hal ini disebabkan di sekolah model segala sesuatunya diusahakan serba lengkap. Dari tahun ke tahun tidak hanya tenaga guru yang selalu mendapat prioritas penambahan, tetapi yang mendapat pengawasan yang ekstra ketat. Bahkan proyek pembangunan gedung sekolah pun, sekolah model selalu didahulukan dari sekolah biasa.
Dari uraian di atas tentu tidak dapat disangkal bahwa sarana dan fasilitas mempengaruhi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik. Masalah yang anak didik hadapi dalam belajar relatif kecil. Hasil belajar anak didik tentu akan lebih baik.

4. Guru
Guru merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Kehadiran guru mutlak diperlukan di dalamnya. Kalau hanya ada anak didik, tetapi guru tidak ada, maka tidak akan terjadi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jangankan ketiadaan guru, kekurangan guru saja sudah merupakan masalah. Mata pelajaran tertentu pasti kekosongan guru yang dapat memegangnya. Itu berarti mata pelajaran itu tidak dapat diterima anak didik, karena tidak ada guru yang memberikan pelajaran untuk mata pelajaran itu. Kondisi kekurangan guru seperti ini sering ditemukan di lembaga pendidikan yang ada di daerah. Sehingga tidak jarang ditemukan seorang guru memegang lebih dari satu mata pelajaran. Akibatnya, jumlah jam mengajar dalam seminggu melebihi delapan belas jam wajib mengajar. Dari segi materi memang menguntungkan guru tetapi merugikan anak didik.
Tidak gampang untuk menuntut guru lebih profesional, karena semuanya terpulang dari sikap mental guru. Guru yang profesional lebih mengedepankan kualitas pengajaran daripada materiil oriented. Kualitas kerja lebih diutamakan daripada mengambil mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya. Tidak ada rotan akar pun jadi, bukanlah ungkapan yang tepat untuk menyerah pada keadaan, bila masih bisa diusahakan, kecuali kalau memang penganut "nepotisme" tradisional. Tapi ada juga kepala sekolah yang tidak "nepotisme", karena kekurangan guru dan karena sulit mencari tenaga tambahan, terpaksa mengambil kebijakan dengan menyuruh guru memegang mata pelajaran sampai dua atau tiga vak. Mutu pengajaran tidak dipersoalkan, yang penting kekurangan guru dapat dipecahkan.
Persoalan guru memang menyangkut dimensi yang luas, tidak hanya bersentuhan dengan masalah di luar dirinya seperti mampu berhubungan dengan baik dengan warga masyarakat di luar sekolah dan berhubungan dengan anak didiknya kapan dan di mana pun dia berada, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan diri pribadinya. Mampukah dia menjadi guru yang baik atau tidak? Itulah yang menjadi persoalan. Menurut M.I. Soelaeman (1985: 45) untuk menjadi guru yang baik itu tidak dapat diandalkan kepada bakat ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus disertai kegiatan studi dan latihan serta praktek/pengalaman yang memadai agar muncul sikap guru yang diinginkan sehingga melahirkan kegairahan kerja yang menyenangkan. Oleh karena itu, Jadilah guru yang baik atau jangan jadi guru sama sekali. adalah motto yang dapat dijadikan sebagai renungan.
Pendapat M.I. Soelaeman tersebut di atas cukup beralasan dalam hal ini. Karena memang yang mempengaruhi hasil belajar anak didik tidak hanya latar belakang pendidikan/pengalaman mengajar, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap mental guru dalam memandang tugas yang diembannya. Seorang guru yang memandang profesi keguruan sebagai panggilan jiwa akan melahirkan perbuatan untuk melayani kebutuhan anak didik dengan segenap jiwa-raga. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik yang dirisaukan selama ini tidak lagi menjadi masalah aktual yang berkepentingan. Yang terjadi adalah kemesraan komunikasi antara guru dan anak didik. Itulah pesan-pesan moral yang ingin diwujudkan dari motto Ki Hajar Dewantara yang berbunyi: Tut wuri handayani, ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo. Mengikuti dari belakang, memberi daya di tengah membina kemauannya, di depan memberi teladan.
Secara formal jabatan guru dipandang sebagai jabatan fungsional. Suatu jabatan yang tidak dipengaruhi oleh lintas struktural. Ke manapun guru dimutasikan tidak akan mempengaruhi kefungsional jabatannya itu. Status jabatan guru yang demikian menuntut guru untuk lebih profesional. Persepsi orang pun digiring untuk memandang guru sebagai tenaga profesional yang harus diakui keberadaannya. Kesejahteraan sebagai pegawai negeri dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan negara harus mendapatkan perhatian yang prioritas, sehingga mereka dapat diharapkan lebih berkonsentrasi pada tugas yang diemban dan tidak lagi melakukan pekerjaan sampingan yang berpotensi menyudutkan dan melecehkan jabatan guru yang dihormati itu. Peduli guru yang disalahartikan bahwa guru sebagai pengemis yang sangat mengharapkan belas kasihan dan uluran tangan orang lain sangat mencoreng harkat dan martabat guru. Peduli pemerintah terhadap guru harus dimanifestasikan dalam bentuk kenaikan gaji guru, sehingga ekonomi rumah tangga guru dapat membaik. Dunia perkreditan yang selama ini sangat akrab dengan guru sedikit demi sedikit dapat dijauhkan.
Perbaikan ekonomi rumah tangga guru mempunyai arti yang sangat penting bagi guru. Guru sudah merasa cukup menikmati gaji yang ada. Guru tidak perlu merasa khawatir akan kekurangan keuangan setiap bulan. Dengan uang gaji sudah cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sekeluarga. Melaksanakan tugas mengajar dengan tenang tanpa dirongrong kepelikan ekonomi. Persiapan mengajar dapat lebih ditingkatkan guna perbaikan mutu mengajar dan bahkan peluang waktu untuk membaca buku lebih terbuka di rumah.
Sebagai tenaga profesional yang sangat menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa dan negara, guru seharusnya menyadari bahwa tugas mereka sangat berat, bukan hanya sekadar menerima gaji setiap bulan atau mengumpulkan kelengkapan administrasi demi memenuhi angka kredit kenaikan pangkat atau golongan dengan mengabaikan tugas utama mengajar. Dengan kesadaran itu diharapkan terlahir motivasi untuk meningkatkan kompetensi melalui self study.
Kompetensi yang harus ditingkatkan menyangkut tiga kemampuan, yaitu kompetensi personal, profesional, dan sosial. Ketiganya mempunyai peranan masing-masing yang menyatu dalam diri pribadi guru dalam dimensi kehidupan di rumah tangga, di sekolah, dan di masyarakat.
Di sekolah, kompetensi personal akan menentukan simpatik tidaknya, akrab tidaknya guru dalam pandangan anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik sangat ditentukan sejauh mana tingkat kualitas kompetensi personal yang dimiliki oleh guru. Sering guru tak diacuhkan oleh anak didik, disebabkan guru sendiri mengambil jarak dengan anak didik. Cukup banyak anak didik yang tak mengenal gurunya dengan baik disebabkan guru sangat jarang duduk bersama-sama dengan anak didik di luar kelas pada waktu luang untuk membicarakan apa saja yang berhubungan dengan masalah pelajaran dan kesulitannya. Penampilan guru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki tak pernah lepas dari pengamatan anak didik. Pernbicaraan guru, perilaku guru, sikap guru dalam menilai sesuatu, kemampuan guru dalam memecahkan masalah, kedisiplinan guru, kepemimpinan guru, tanggung jawab guru, kejujuran guru, kreativitas guru, inisiatif guru, dan bahkan cara guru berpakaian sekali pun tak pernah alpa dari penilaian anak didik. Semua itu disadari atau tidak oleh guru akan menjadi contoh bagi anak didik. Tetapi tak mustahil menjadi topik pembicaraan di kalangan anak didik.
Secara pribadi mungkin guru telah siap menjadi guru. Tetapi itu belum cukup tanpa ditopang dengan kompetensi profesional. Menjadi guru bukan hanya sekadar tampil di kelas, di depan sejumlah anak didik, lalu memberikan pelajaran apa adanya, tanpa melakukan langkah-langkah yang strategis. Bahan pelajaran telah disampaikan. Mengerti tidaknya anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan itu tak menjadi soal. Inilah sikap yang tidak profesional yang membodohi anak didik. Tetapi supaya kegagalan pengajaran tertutupi dilakukan rekayasa nilai dengan dalih kasihan bila anak didik mendapat nilai rendah. Inilah kebodohan guru yang miskin idealisme. Sangat jarang ditemukan anak didik yang membodohi gurunya. Tetapi jangan disangkal masih ada oknum guru yang membodohi anak didiknya dengan kemunafikan nilai. Penempatan kasih sayang yang tidak pada tempatnya. Mutu terabaikan demi sebuah "harga diri". Malu dikatakan tak pandai mengajar di kelas.

Tak jarang guru yang profesional terjebak pada perangkap sikap tinggi hati. Tidak mau bergaul kecuali dengan mereka-mereka yang seprofesi. Tidak mau bekerja sama bila hanya menguntungkan orang lain. Tak sudi duduk bersama-sama dengan anak didik di waktu luang disebabkan takut tak dihormati oleh anak didik. Takut tak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan anak didik. Dalam musyawarah ingin menang sendiri dan sangat berat menerima pendapat orang lain yang mengandung kebenaran. Beginilah sikap guru yang kurang kompetensi sosial, suatu sikap yang sangat merugikan anak didik yang sedang mencari "kebaikan" dari guru.

C. Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlairan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi; mereka lekas lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima pelajaran. Demikian pendapat Noehi Nasution, dkk. (1993: 6).
Selain itu, menurut Noehi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indra (mata, hidung, pengecap, telinga, dan tubuh), terutama mata sebagai alat untuk melihat dan sebagai alat untuk mendengar. Sebagian besar yang dipelajari manusia (anak) yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat contoh, atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan keterangan orang lain dalam diskusi dan sebagainya. Karena pentingnya peranan penglihatan dan pendengaran inilah maka lingkungan pendidikan formal orang melakukan penelitian untuk menemukan bentuk dan cara penggunaan alat peraga yang dapat dilihat dan didengar.
Aspek fisiologis ini diakui mempengaruhi pengelolaan kelas. Pengajaran dengan pola klasikal perlu memperhatikan tinggi rendahnya postur tubuh anak didik. Postur tubuh anak didik yang tinggi sebaiknya ditempatkan di belakang anak didik yang bertubuh pendek. Hal ini dimaksudkan agar pandangan anak didik ke papan tulis tidak terhalang oleh anak didik yang bertubuh tinggi. Anak didik yang berjenis kelamin sama ditempatkan pada kelompok anak didik sejenis. Demikian juga anak didik yang perempuan, dikelompokkan pada kelompok sejenis. Pola pengelompokan yang demikian sangat baik dalam pandangan moral dan agama. Tetapi yang lebih penting adalah untuk meredam gejolak nafsu birahi untuk anak didik yang sedang meningkat ke usia remaja, di mana masa ini termasuk pancaroba, penuh dengan letupan-letupan emosional yang cenderung tak terkendali.
Tinjauan fisiologis adalah kebijakan yang pasti tak bisa diabaikan dalam penentuan besar kecilnya, tinggi rendahnya kursi dan meja sebagai perangkat tempat duduk anak didik dalam menerima pelajaran dari guru di kelas. Perangkat tempat duduk ini mempengaruhi kenyamanan dan kemudahan anak didik ketika sedan& menerima pelajaran di kelas. Dan berdampak langsung terhadap tingkat konsentrasi anak didik dalam rentangan tertentu. Anak didik akan betah duduk berlama-lama di tempat duduknya bila sesuai dengan postur tubuhnya. Coba bandingkan bagaimana rasanya anak remaja yang menduduki tempat duduk yang diperuntukkan untuk anak didik di sekolah taman kanak-kanak. Tentu saja kursi yang kecil itu akan menyulitkan orang yang mendudukinya dan tentu saja akan memperkecil konsentrasi dalam belajar.

D. Kondisi Psikologis
Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak. Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor psikologis tidak mendukung, maka faktor luar itu akan kurang signifikan. Oleh karena itu, minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan-kemampuan kognitif adalah faktor-faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik. Demi jelasnya, kelima faktor ini akan diuraikan satu demi satu berikut ini.
1. Minat
Minat, menurut Slameto (1991: 182), adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.
Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa anak didik lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Anak didik memiliki minat terhadap subjek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek tersebut (Slameto, 1991: 182). Persoalannya sekarang adalah bagaimana menimbulkan minat anak didik terhadap sesuatu? Memahami kebutuhan anak didik dan melayani kebutuhan anak didik adalah salah satu upaya membangkitkan minat anak didik. Dalam penentuan jurusan harus disesuaikan dengan minat anak didik. Jangan dipaksakan agar anak didik tunduk pada kemauan guru untuk memilih jurusan lain yang sebenarnya anak didik tidak berminat. Dipaksakan juga pasti akan sangat merugikan anak didik. Anak didik cenderung malas belajar untuk mempelajari mata pelajaran yang tak disukainya. Anak didik pasrah pada nasib dengan nilai apa adanya (Nasution, 1993: 7).
Di samping memanfaatkan minat yang telah ada, Tanner dan Tanner (1975) (dalam Slameto, 1991: 183) menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri anak didik. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada anak didik mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu, menguraikan kegunaannya bagi anak didik di masa yang akan datang. Rooijakkers¬ (1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan anak didik. Anak didik, misalnya, akan menaruh perhatian pada pelajaran tentang gaya berat, bila hal itu dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.
Bila usaha-usaha di atas tidak berhasil, guru dapat memakai insentif dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk membujuk seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak dilakukannya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif akan membangkitkan motivasi anak didik dan mungkin minat terhadap bahan yang diajarkan akan muncul.
Slameto berkesimpulan bahwa minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Dengan kata lain, Slameto ingin mengatakan bahwa minat dapat ditumbuhkan dan dikembangkan pada diri seorang anak didik. Caranya adalah apa yang telah disampaikan oleh Tanner & Tanner yaitu dengan jalan memberikan informasi pada anak didik mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu atau menguraikan kegunaannya di masa depan bagi anak didik.
Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat anak didik yang telah ada. Misalnya, beberapa orang anak didik menaruh minat pada olah raga balap mobil. Sebelum mengajarkan percepatan gerak, guru dapat menarik perhatian anak didik dengan menceritakan sedikit mengenai balap mobil yang baru saja berlangsung, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran yang sesungguhnya. (Slameto, 1991: 183).

2. Kecerdasan
Raden Cahaya Prabu (1986) pernah mengatakan dalam mottonya bahwa : "Didiklah anak sesuai taraf umurnya. Pendidikan yang berhasil karena menyelami jiwa anak didiknya". Yang menarik dari ungkapan ini adalah tentang umur dan menyelami jiwa anak didik.
Kedua persoalan ini tampaknya tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin pertumbuhan umur seseorang dari usia muda lalu tua tidak diikuti oleh perkembangan jiwanya. Sedangkan para ahli telah sepakat bahwa semakin meningkat umur seseorang semakin dewasa pula cara berpikirnya. Dan hal ini lebih mengukuhkan pendapat yang mengatakan bahwa kecerdasan dan umur mempunyai hubungan yang sangat erat. Perkembangan berpikir seseorang dari yang konkret ke yang abstrak tidak bisa dipisahkan dari perkembangan inteligensinya. Semakin meningkat umur seseorang semakin abstrak cara berpikirnya.
Seorang ahli seperti Raden Cahaya Prabu berkeyakinan bahwa perkembangan taraf inteligensi sangat pesat pada masa umur balita dan mulai menetap pada akhir mass remaja. Taraf inteligensi tidak mengalami penurunan, yang menurun hanya penerapannya saja, terutama setelah berumur 65 tahun ke atas bagi mereka yang alat indranya mengalami kerusakan.
Karena inteligensi diakui ikut menentukan keberhasilan belajar seseorang, maka orang tersebut seperti M. Dalyono. (1997: 56) misalnya secara tegas mengatakan bahwa seseorang yang memiliki inteligensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang inteligensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Karenanya Walter B. Kolesnik (1979) mengatakan bahwa: In most cases there is a fairly high cerrelation between one's IQ, and his scholastic success. Usually, the higher a person's IQ, the higher the grades he receives. (Slameto, 1991: 130) Oleh karena itu, kecerdasan mempunyai peranan yang besar dalam ikut menentukan berhasil dan tidaknya seseorang mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program pendidikan dan pengajaran. Dan orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih mampu belajar daripada orang yang kurang cerdas. (Noehi Nasution, 1993: 7)
Akhirnya pembahasan ini bermuara pada suatu kesimpulan, bahwa kecerdasan merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar di sekolah.

3. Bakat
Di samping inteligensi (kecerdasan), bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan tetapi, banyak sekali hal-hal yang menghalangi untuk terciptanya kondisi yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi tempat seorang belajar menjanjikan studi yang benar-benar sesuai dengan bakat orang tersebut. Kemungkinan penghambat lain adalah biaya. Suatu lapangan studi yang sesuai dengan bakat seseorang mungkin terlalu mahal bagi orang tersebut. Dan penghambat terbesar di Indonesia adalah belum adanya alat pengukur atau tes bakat yang benar-benar dapat diandalkan. Memang dewasa ini telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk mengembangkan tes bakat itu, namun kiranya masih diperlukan waktu agak lama untuk tersusunnya tes bakat yang benar-benar dapat diandalkan dan dipergunakan. (Noehi Nasution, 1993: 8)
Bakat memang diakui sebagai kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau latihan. (Sunarto & Hartono, 1999: 119) Dalam kenyataan tidak jarang ditemukan seorang individu dapat menumbuhkan dan mengembangkan bakat bawaannya dalam lingkungan yang kreatif. Orang lain dan orang sekitarnya dengan rela hati bersedia meluangkan waktu untuk mengembangkan dan memberikan latihan terhadap potensi bakat yang terpendam di dalam din' seseorang. Bakat bawaan ada kemungkinan terkait dengan garis keturunan dari ayah atau ibu. Istilah darah seni yang mengalir di dalam tubuh seorang anak dan menyebabkan anak panda] menyanyi dan menyenanginya karena dididik dan dilatih adalah karena salah satu faktornya orang tuanya seorang penyanyi. Karena orang tuanya penyanyi, anak cenderung ingin mengikuti jejak langkah orang tuanya itu. Besarnya minat seorang anak untuk mengikuti jejak langkah orang tuanya, akhirnya menumbuhkan bakat terpendamnya menjadi kenyataan.
Banyak sebenarnya bakat bawaan (terpendam) yang dapat ditumbuhkan asalkan diberikan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Di sini tentu saja diperlukan pemahaman terhadap bakat apa yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Sunarto dan Hartono (1999: .12 1), bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud. Misalnya, seseorang mempunyai bakat menggambar, jika ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan, maka bakat tersebut tidak akan tampak. Jika orang tuanya menyadari bahwa ia mempunyai bakat menggambar dan mengusahakan agar ia mendapatkan pengalaman yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bakatnya, dan anak itu juga menunjukkan minat yang besar untuk mengikuti pendidikan menggambar, maka is akan dapat mencapai prestasi yang unggul dan bahkan dapat menjadi pelukis terkenal. Sebaliknya, seorang anak yang mendapatkan pendidikan menggambar dengan baik, namun tidak memiliki bakat menggambar, maka tidak akan pernah mencapai prestasi untuk bidang tersebut. Dalam kehidupan di sekolah sering tampak bahwa seseorang yang mempunyai bakat dalam bidang olahraga, umumnya prestasi mata pelajaran lainnya juga baik. Keunggulan dalam salah satu bidang, apakah bidang sastra, matematika atau seni, merupakan hasil interaksi dari bakat yang dibawa sejak lahir dan faktor lingkungan yang menunjang, termasuk minat dare dorongan pribadi.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa bakat bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Paling tidak ada dua faktor yang ikut mempengaruhi perkembangannya, yaitu faktor anak itu sendiri misalnya, anak tidak atau kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang ia miliki, atau mungkin pula mempunyai kesulitan atau masalah pribadi, sehingga ia mengalami hambatan dalam pengembangan diri dan berprestasi sesuai dengan bakatnya. Lingkungan anak sebagai faktor di luar diri anak, bisa menjadi penghalang perkembangan bakat anak. Misalnya, orang tuanya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang ia butuhkan, atau ekonominya cukup tinggi, tetapi kurang memberikan perhatian pendidikan anak. Tetapi lingkungan yang ramah dan kreatif telah disediakan bagi anak untuk mengembangkan bakatnya, namun karena anak tidak berhasrat untuk mengembangkan bakatnya, maka bakat anak itu tetap saja menjadi potensi bawaan yang bersifat pasif, tidak dapat berkembang. Begitupun bila anak ingin mengembangkan bakatnya, karena lingkungan tidak mendukungnya, maka bakat anak mengalami kendala yang serius dalam perkembangannya. Jadi, kedua faktor anak didik dan lingkungan anak didik harus mendorong ke arah perkembangan bakat yang optimal.
Oleh karena itu, harus diakui bahwa pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat-bakat tertentu. Dua anak bisa sama-sama mempunyai bakat melukis, tetapi yang satu lebih menonjol daripada yang lain dan bahkan saudara sekandung dalam satu keluarga bisa mempunyai bakat yang berbeda-beda. Anak yang satu mempunyai bakat untuk bekerja dengan angka-angka, anak yang lain dalam bidang olahraga, yang lainnya lagi berbakat menulis atau mengarang. Gejala perkembangan bakat anak pada bidang-bidang tertentu dapat dilihat dari kecenderungan perilaku anak dalam meng-implementasikan potensi bakatnya. Tetapi bisa juga disadari atau tidak oleh anak, dia telah mencoba menumbuhkan bakatnya pada bidang tertentu. Bakat sebagai seorang penulis atau pengarang misalnya, bisa saja muncul dari perilaku anak yang gemar mengembangkan nalarnya melalui catatan kecil atau catatan pribadi dalam bentuk catatan berbagai peristiwa atau cerita-cerita pendek. Kesenangan menulis itu sebenarnya merupakan pintu gerbang yang dapat mengantarkan anak menjadi seorang penulis atau pengarang dimaksud di atas, asalkan didukung dengan kemauan yang keras dan latihan yang terus menerus. Lingkungan yang ramah dan kreatif telah tersedia bagi anak untuk mengembangkan bakat kepengarangannya itu.

4. Motivasi
Menurut Noehi Nasution (1993: 8) motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Hal ini dipandang masuk akal, karena seperti dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (1995: 61) bahwa banyak bakat anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semula tidak terduga. Bahkan menurut Slameto (1991: 136) seringkali anak didik yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Berbagai faktor bisa saja membuatnya bersikap apatis. Misalnya, karena keadaan lingkungan yang mengancam. perasaan takut diasingkan oleh kelompok bila anak didik herhasil atau karena kebutuhan untuk berprestasi pada diri anak didik sendiri kurang atau mungkin tidak ada. Ada tidaknya motivasi untuk berprestasi pada diri anak didik cukup mempengaruhi kemampuan intelektual anak didik agar dapat berfungsi secara optimal.
Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Karena itu, motivasi belajar perlu diusahakan, terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus dihadapi untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekad bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar. (M. Dalyono, 1997: 57)
Mengingat motivasi merupakan motor penggerak dalam perbuatan, maka bila ada anak didik yang kurang memiliki motivasi intrinsik, diperlukan dorongan dari luar, yaitu motivasi ekstrinsik, agar anak didik termotivasi untuk belajar. Di sini diperlukan pemanfaatan bentuk-bentuk motivasi secara akurat dan bijaksana. Penjabaran dan pembahasan lebih mendalam tentang bentuk-bentuk motivasi dalam belajar ini dapat dibaca kembali pada uraian terdahulu tentang "motivasi belajar".
Menurut Crow & Crow dalam bukunya Educational Psychol¬ogy yang diterjemahkan oleh Kasijan (1984: 395) bahwa anak-anak pada masa-masa permulaan sekolah dapat distimulus untuk memperkuat pekerjaan-pekerjaan yang baik melalui pujian-pujian dari guru, menampilkannya sebagai juara atau dengan memberikan hadiah¬-hadiah yang bersifat kebetulan. Motivasi untuk anak-anak belum cukup memberikan kekuatan dalam menguasai bahan-bahan pelajaran, seperti dalam menerima perhatian-perhatian yang tertentu. Anak makin tumbuh menjadi lebih tua, motivasi-motivasi yang ada padanya makin berpengaruh di dalam belajarnya. Hadiah-hadiah yang sifatnya diberikan secara kebetulan tetap memainkan peranan bahkan hal itu akan tetap mereka perbuat sampai mencapai tingkat dewasa. Akan tetapi, motivasi-motivasi lain yang lebih langsung dikenakan pada pribadi-pribadi yang dalam keadaan sehat dapat menjadi berarti. Contohnya, seorang adolesen mungkin akan memberi perhatian yang khusus terhadap pelajaran-pelajarannya jika ia mengetahui kegunaan praktis dan karena itu akan menjadikan pelajaran itu bernilai baginya sebagai sesuatu yang penting yang dapat diperolehnya dalam kehidupan. Kerap kali kita dengar seorang anak didik mengeluh karena ia melihat tidak adanya alasan untuk mempelajari suatu bahasa asing atau ilmu pasti. Dari pandangan anak didik itu tidak ada motivasi yang dapat membawa kepuasan baginya dari pemakaian energi pada mata pelajaran itu, penggunaan waktu belajar yang dianggap sia¬sia memperlihatkan tidak adanya nilai praktis bila mempelajarinya.

5. Kemampuan Kognitif
Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang sangat dikenal dan diakui oleh para ahli pendidikan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan kemampuan yang selalu dituntut kepada anak didik untuk dikuasai. Karena penguasaan kemampuan pada tingkatan ini menjadi dasar bagi penguasaan ilmu pengetahuan.
Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat indranya, yaitu indra penglihatan, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. (Slameto, 1991: 104) Dalam pengajaran guru harus menanamkan pengertian dengan cara menjelaskan materi pelajaran sejelas-jelasnya, bukan bertele-tele kepada anak didik, sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi anak didik. Kemungkinan kecilnya kesalahan persepsi anak bila penjelasan yang diberikan itu mendekati objek yang sebenarnya.
Semakin dekat penjelasan guru dengan realitas kehidupan semakin mudah anak didik menerima dan mencerna materi pelajaran yang disajikan. Seorang anak yang telah memiliki kemampuan persepsi ini berarti telah mampu menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek-objek yang dihadapi, entah objek itu orang, benda, atau kejadian/peristiwa. Objek-objek itu direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Gagasan dan tanggapan itu dituangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya atau dalam bentuk tulisan maupun orasi ilmiah. Karena kemampuan kognitif ini, orang dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga seperti perabot rumah tangga, kendaraan, bangunan, dan orang, sampai hal-hal yang tidak bersifat material dan berperaga seperti ide "keadilan, kejujuran", dan lain sebagainya. Jelaslah kiranya, bahwa semakin banyak pikiran dan gagasan dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang itu. Kemampuan kognitif ini harus dikembangkan melalui belajar.
Mengingat adalah suatu aktivitas kognitif, di mana orang menyadari bahwa pengetahuannya berasal dari masa lampau atau berdasarkan kesan-kesan yang diperoleh' di masa yang lampau. Terdapat dua bentuk mengingat yang paling menarik perhatian, yaitu mengenal kembali (rekognisi) dan mengingat kembali (reproduksi). Dalam mengenal kembali, orang berhadapan dengan suatu objek dan pada saat itu dia menyadari bahwa objek itu pernah dijumpai di masa yang lampau. Dalam mengenal kembali, aktivitas mengingat ternyata terikat pada kontak kembali dengan objek; seandainya tidak ada kontak, juga tidak terjadi mengingat. Teringatnya kembali kesan¬-kesan dilampau itu karena kesan-kesan yang berada di alam bawah sadar terangkat ke alam sadar dengan cara "asosiasi". Oleh karena itu, dalam mengenal kembali, orang tahu bahwa objek yang dijumpainya sekarang ini cocok dengan suatu gagasan, pikiran atau tanggapan yang tersimpan dalam ingatannya, sejak bertemu dengan objek itu untuk pertama kali di masa lalu. Dalam bertemu dengan objek itu untuk pertama kali di masa lalu. Dalarn mengingat kembali (reproduksi), dihadirkan suatu kesan dari masa lampau dalam bentuk suatu tanggapan atau gagasan, tetapi hal yang diingat itu tidak hadir pada saat mengingat kembali seperti terjadi pada mengenal kembali. Pada waktu mengingat kembali, orang mereproduksikan apa yang pernah dijumpai, tanpa kontak dengan hal yang pernah dijumpai itu. Kegiatan mengingat kembali (reproduksi) ini merupakan kegiatan yang terbanyak dilakukan anak didik di sekolah. Materi pelajaran yang bersifat hafalan sangat memerlukan kegiatan mengingat kembali ini. Konsentrasi tingkat tinggi sangat dituntut kepada anak didik untuk mendukung usaha mengingat kembali materi yang sudah dihafal. Akhirnya, apakah kegiatan mengingat itu dengan usaha rekognisi atau reproduksi, yang jelas pada prinsipnya mengingat adalah penarikan kembali informasi dalam bentuk kesan-kesan yang tersimpan di alam bawah sadar ke alam sadar yang pernah diperoleh sebelumnya. Entah informasi yang diterima itu disimpan beberapa saat saja, untuk beberapa waktu, atau untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Perkembangan berpikir seorang anak bergerak dari kegiatan berpikir konkret menuju berpikir abstrak. Perubahan berpikir ini bergerak sesuai dengan meningkatnya usia seorang anak. Seorang guru perlu memahami kemampuan berpikir anak sehingga tidak rnemaksakan materi-materi pelajaran yang tingkat kesukarannya tidak sesuai dengan usia anak untuk diterima dan dicerna oleh anak. Bila hal ini terjadi, maka anak mengalami kesukaran untuk mencerna gagasan-gagasan dari materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran jelas tak dapat dikuasai anak didik dengan balk. Maka gagallah usaha guru untuk membelajarkan anak didik.