Disampaikan pada Perkuliahan Pendekatan PAIKEM
di Universitas Islam Jakarta
Sabtu, 15 Mei 2009
A. Pendahuluan
Proses pembelajaran selalu melibatkan faktor sikap, emosi dan motivasi. Menurut behaviorisme manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Dalam beberapa aspek, proses pembelajaran bisa disejajarkan dengan proses psikoterapi dimana seorang psikiater mengobati pasiennya. Ada persamaan antara pembelajaran yang melibatkan guru dan murid dengan konseling psikologi yang melibatkan seorang ahli ilmu jiwa dengan seorang pasien. Karena itu bisa digunakan istilah client (klien) untuk mengganti istilah siswa dan counselor (konselor) untuk menggantikan istilah guru. Dalam beberapa hal, kedua istilah yang tidak konvensional ini mempunyai implikasi yang dalam dan berbeda dengan istilah siswa vs guru.
Apa yang sebenarnya dipelajari oleh manusia pada umumnya bersifat kognitif dan afektif. Karena itu pelajaran hendaknya disajikan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu suasana yang memungkinkan pelajar bahasa berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama pelajar secara bebas. Dengan demikian, pelajar bisa menghayati semua masukan dari luar secara menyeluruh, yakni melalui pikiran (kemampuan kognitif) dan perasaannya (kemampuan afektif).
Pembelajaran dapat juga dipandang sebagai suatu pengalaman pribadi dan pengalaman sosial yang menyatu dan terpadu. Siswa tidak lagi terlibat sebagai pembelajar yang terisolasi dan dalam persaingan atau kompetisi dengan yang lainnya. Pada waktu seseorang terjun ke dalam suatu arena yang baru seperti proses belajar, dia sebagai manusia dikodrati dengan berbagai ciri manusiawi pada umumnya. Dalam lingkungan yang baru dia merasa asing, dia dihinggapi oleh rasa tidak aman (insecurity), rasa keterancaman (threat), rasa ketidakmenentuan, kegelisahan (anxiety), stress, konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi dia untuk maju. Kenyataan itu mengisyaratkan agar guru bertindak sebagai konselor yang bertugas membimbing, mengarahkan, memberikan motivasi agar perasaan-perasaan tadi dapat dikurangi. Konselor tidak boleh menghukum, menyalahkan, apalagi mencaci maki kliennya.
Di antara persoalan penghambat pembelajaran di atas yang akan dicoba dibahas solusinya adalah persolan kegelisahan dan kecemasan (anxiety) yang akan diatasi dengan desensitisasi, yang secara harfiah berarti mengurangi sensitivitas dan/atau membuat keteracuhan terhadap sesuatu yang menakutkan atau menyeramkan.
B. Pembahasan
1. Pengertian Desensitisasi
Arwin Zoelfatas (107 : 2009) menyatakan bahwa desensitisasi merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Prosedurnya adalah memasukkan suatu respons yang bertentangan dengan kecemasan, seperti relaksasi. Individu belajar untuk relaks dalam situasi yang sebelumnya menimbulkan kecemasan.
Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi pada hakekatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
Dalam psikologi desensitisasi sering diamaksudkan sebagai suatu cara atau metode dalam menerapi atau menyembuhkan atau meminimalisir gejala ketakutan. Dengan cara sumber stimulus yang bisa menimbulkan rangsang baik secara fisiologis maupun psikologis, akan didekatkan pada si penderita dengan suatu skema tertentu secara perlahan-perlahan.
Misalnya ada anak yang punya fobia terhadap anjing, maka dibuatlah suatu perjalanan mendekatkan objek anjing hingga menimbulkan efek kebal dan menetralisir fobia pada penderita. 1. minggu pertama, misalnya dengan memperhatikan reaksi pembayangan figur anjing dalam pikiran dengan frekuensi dan waktu yang kita tentukan. 2. minggu kedua, misalanya dengan menuliskan kata anjing dengan banyak kata yang ditingkatkan di setiap harinya misal dengan membuat gambar anjing, sehingga sampai pada variasi-variasi penetralisiran ke titik yang penderita inginkan. Faktor2 itu sebelumnya terdata dalam sebuah angket, untuk mengukur derajat efek stimulus terhadap fobia.
Terapi tingkah-laku ini biasanya dipergunakan bagi pasien-pasien yang menderita ketakutan yang irrasional. Yang paling penting dari semuanya, hendaklah pasien itu mengalami kesantaian otot-ototnya. Lalu kepadanya dihadirkan benda yang dia takuti, sebagai misalnya seekor laba-laba. Dapat berupa benda yang sebenarnya atau pasien diminta untuk membayangkannya. Penghadirannya diatur secara setingkat demi setingkat, yang sedemikian rupa, dari mulai yang dihadirkan yang paling berkeadaan tidak menakutkan, lalu dihadirkan yang lebih seram, sampai dengan akhirnya benda yang tampak atau yang dibayangkan yang aspeknya paling menyeramkan. Sementara itu, pasien sambil tetap berkeadaan santai, diminta untuk tetap belajar untuk tidak memberi reaksi dengan emosi atau lari menghindarkan diri dari benda riilnya, atau bayangan di alam fikirannya itu.
2. Penerapannya dalam Pembelajaran
Secara garis besarnya, desensitisasi terdiri dari dua langkah, yaitu: pertama, rileksasi dan kedua, secara bertahap mengalami situasi yang membuat cemas (hingga tidak lagi cemas). Rileksasi dilakukan dengan cara melemaskan seluruh otot tubuh, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Latihan ini untuk setiap bagian tubuh disertai mengatur pernapasan perut (napas panjang). Pernapasan ini dilakukan sebelum melemaskan otot-otot.
Setelah dicapai keadaan rileks, kegiatan dilanjutkan dengan memulai berlatih menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan. Caranya dengan membayangkan hingga sungguh-sungguh menghadapinya secara bertahap, dari keadaan sedikit mencemaskan hingga paling mencemaskan. Kombinasi rileksasi dan latihan menghadapi situasi yang mencemaskan ini dilakukan hingga seseorang benar-benar tidak cemas menghadapi stimulus yang ada.
a. Skenario
Operasionalisasi teknik ini dapat dimulai dengan meminta siswa mengidentifikasi saat-saat di sekolah atau di dalam kelas yang tidak menyenangkan bagi mereka. Para siswa mungkin akan menjawab pada saat mengikuti tes, pada saat membaca pelajaran dengan suara nyaring sementara teman dan guru memperhatikannya, mencari teman baru untuk melakukan tugas, bekerja sama dengan siswa rival di kelas, dan sebagainya.
Setelah itu siswa diminta untuk membayangkan saat-saat dalam hidup mereka yang penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, misalnya ketika terbang di angkasa dan menyaksikan bumi dari jauh, atau pada saat duduk berdua dengan seseorang yang berarti sambil memandang rembulan, atau pada saat mencetak gol pada pertandingan sebak bola, dan sebagainya. Setiap siswa membayangkan satu atau dua keadaan yang membuat mereka merasa nyaman dan rileks.
Langkah berikutnya adalah mempertentangkan kondisi yang tidak menyenangkan dengan kondisi yang menyenangkan. Guru meminta siswa untuk membayangkan seolah-olah mereka sedang menghadapi ujian akhir semester lalu dengan segera membanyangkan mereka sedang bermain bola lalu mencetak gol sebanyak-banyaknya. Mereka terus membayangkan sedang bermain bola dan mencetak gol sehingga akhirnya mereka benar-benar merasa sedang menjadi sang juara.
Selanjutnya guru memainkan peran seolah-olah dia akan memberikan setumpuk soal ujian akhir semester. Guru meminta siswa membayangkan seolah-olah dia masuk ke dalam ruangan dengan membawa lembar soal tetapi tidak tahu mengapa dia membawa lembar soal itu, lalu dengan perasaan bingung sang guru kembali ke kantornya dan menemukan para orang tua siswa sudah menunggu dengan ekpresi muka yang menunjukkan kekecewaan kepada sang guru. Para siswa terus membayangkan hal-hal yang menyenangkan setiap kali hal-hal yang tidak menyenangkan terkait dengan ujian akhir semester muncul dalam benak mereka. Pada akhir sesi terapi guru meminta para siswa untuk menggunakan teknik tersebut setiap kali akan menghadapi ujian atau hal-hal yang tidak menyenangkan bagi mereka.
b. Strategi Peniruan Kognitif (Cognitive Coping Stategies)
Pengalaman seseorang sangat mempengaruhi perasaananya dan dia bereaksi terhdap perasaan-perasaan ini dengan berbagai cara. Beberapa dari reaksi kita mambantu penguasaan situasi emosi sedih dengan cara yang berpengaruh pada kebaikan kita, dan ada juga reaksi kita yang malah menambah stress dan menggantikan sikap yang lebih. Perasaan itu menjaga kami untuk tetap pada pola-pola negative.
Robert Decker misalnya menjelaskan hubungan antara emosi dengan pola makan dan cara-cara orang yang salah dalam menghadapi perasaannya. Dia juga menjelaskan beberapa strategi peniruan yang berguna bagi orang-orang sebagai alternative untuk menghadapi emosi stress mereka. Dr. Decker mengembangkan pemikirannya dari model emosi yang orang-orang tunjukkan untuk merespon berbagai kejadian yang diberikan dengan beberapa jenis input kognitif. (1) penafsiran, keyakinan dan sikap, (2) pikiran, daya ingat, imajinasi, (3) konsep diri dan penghargaan-diri. Dia beranggapan bahwa input kognitif ini mengatur respons khusus emosi yang akan berkembang ketika berhubungan dengan kejadian khusus. Ketika seorang suami melihat isterinya yang makan makanan berlemak ketika dia sedang mencoba untuk diet, maka sang isteri mungkin akan menterjemahkan sikap itu sebagai niat jahat suami nya untuk menghukumnya atau mungkin itu sebagai bukti ketidakpedulian suami. Istri mungkin akan merasakan kemarahan, perutnya menjadi sesak atau mungkin dia akan mengingat bagaimana ketidakpedulian ayahnya kepada ibunya pada situasi yang sama. Atau mungkin sia akan berkata pada dirinya sendiri betapa mengerinya aku, ketika dia tidak bisa memancing kemarahan suaminya.
Di antara strategi-strategi yang menurut orang bisa digunakan adalah strategi ekologi kognitif yang digunakan untuk menghentikan atau merubah pikiran negatif. Albert Ellies, seorang psikolog klinis, telah membuat daftar keyakinan irasional yang menurut dia berkontribusi pada perasaan-perasaan negatif, seperti: kesengsaraan manusia disebabkan oleh tekanan dari luar; seseorang harus mempunyai kontrol yang kuat atas segala sesuatu, atau tidak orang yang mampu menguasai emosinya. Ide dasar yang ingin disampaikan adalah menghentikan orang menggunakan pikiran-pikiran irasional ini lalu menggantinya dengan alasan yang lebih masuk akal. Strategi pertama adalah menentang kepercayaan-kepercayaan irasional tersebut. Strategi yang lain adalah mengganti pikiran-pikiran negatif dengan pikiran-pikiran positif, menghindari untuk menyatakan pikiran-pikiran negatif dengan keras, memberikan pujian untuk diri sendiri, berpikir tentang solusi bukan kesalahan atau hanya angan-angan, mengatur dan menerima hasil.
c. Hirarki dan Imajinasi dalam Desensitisasi
Dua konsep operasional yang menjadi pusat dari model ini adalah hirarki dan imajinasi. Hirarki dan imajinasi adalah serangkaian urutan waktu dan situasi atau adegan-adegan yang nantinya akan dibayangkan oleh klien pada saat mereka melakukan relaksasi. Mengimajinasi dalam desensitisasi adalah kemampuan untuk memvisualisasi dengan jelas adegan demi adegan yang akan mengurangi kecemasan siswa.
Adegan itu menggambarkan situasi yang kongkrit yang relevan dengan masalah siswa. Asumsi yang melandasi konsep ini adalah bahwa tingkatan-tingkatan yang ada berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan adegan yang pertama akan mengurangi rasa cemas lalu dilanjutkan dengan adegan-adegan berikutnya. Ketika siswa telah melewati serangakaian alternatif imajinasi dan relaksasi, maka dia telah melewati masalahnya.
Tanggung jawab untuk pengembangan hirarki semestinya berada pada siswa. Namun demikian, guru dapat membantu siswa mengembangannya, khususnya membantu siswa menentukan point-point pokoknya, yaitu adegan pertama, kedua dan dan seterusnya sampai tingkat terakhir. Berikut ini adalah hirarki yang digunakan secara sukses oleh Wolpe dengan pelajar yang mengalami masalah kecemasan menghadapi tes:
1. 4 hari sebelum ujian.
2. 3 hari sebelum ujian.
3. 2 hari sebelum ujian.
4. 1 hari sebelum ujian.
5. Malam hari sebelum ujian.
6. Di jalan menuju sekolah
7. Saat kertas ujian ada di depan mata.
8. Menunggu pembagian kertas ujian.
9. Sebelum ruang ujian ditutup.
10. Pada saat menjawab di kertas ujian.
d. Pembelajaran Model Desensitisasi
Pembelajaran model ini melalui lima fase, yaitu: (1) prosedur penyaringan, (2) penentuan hirarki, (3) pengaturan relaksasi, (4) prosedur desensitisasi (penyajian berbagai imajinasi dan relaksasi) dan (5) penerapan teknik-teknik relaksasi pada tempat-tempat yang lain.
Fase pertama, prosedur penyaringan, meliputi penentuan (1) apakah masalah siswa tepat untuk diatasi dengan desensitisasi (2) apakah siswa bisa memvisualisasikannya dan (3) apakah relaksasi yang mendalam membuatnya menjadi lebih tenang. Jika semua hal di atas menunjukkan hasil positif, maka masalahnya tepat untuk diatasi dengan desensitisasi. Masalah yang perlu dipertimbangkan untuk diatasi dengan desensitisasi adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kecemasan irasional. Kecemasan irasional adalah ketika siswa sebanrnya mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalahnya. Sebagai contoh, jika siswa sudah belajar maksimal untuk menghadapi ujian, lalu dia tetap juga cemas, maka kecemasan seperti itu adalah kecemasan irasional.
Fase kedua, menentukan hirarki. Salah satu caranya adalah meminta siswa untuk memikirkan sebanyak mungkin adegan yang berhubungan dengan masalahnya dan mendatanya secara terpisah pada kartu-kartu. Selanjutnya guru dan siswa bisa memulai menetapkan rentangan skala jenis terendah pada tingkat produksi kecemasan (1-2), tengah (5-6) dan tinggi (9-10). Secara berangsur-angsur skala dapat dikembangkan. Setelah skala pertama diselesaikan, sebaiknya kesalahan-kesalahan yang ada dikoreksi.
Fase ketiga adalah menentukan satu atau dua bagian adegan relaksasi yang akan siswa bayangkan di antara beberapa tahap hirarki. Adegan-adegan tersebut hendaknya divisualisasikan dengan jelas dan dicek untuk kekuatan relaksasinya. Bila perlu mereka bisa berlatih di rumah sampai gambaran-gambaran itu menjadi jelas.
Fase keempat. Fase ini terdiri dari silih bergantinya visualisasi kecemasan dengan relaksasi. Siswa diperintahkan untuk berimajinasi dengan adegan-adegan yang sudah ditentukan sebelumnya seolah-olah dia mengalaminya langsung. Siswa juga diminta untuk menunjuk jari segera ketika dia mengalami kecemasan, dan untuk menandai sesegera mungkin imajinasi itu jelas dan stabil. Setelah merasa yakin bahwa siswa cukup relaks, adegan hirarki pertama disajikan, guru menggambarkan adegan-adegan itu dan menunggu siswa untuk memberi tanda bahwa gambaran-gambaran itu menjadi jelas; kemudian guru menunggu selama 7 detik untuk meyakinkan tidak ada kecemasan lagi yang dialami. Jika siswa tidak memberikan tanda-tanda kecemasan, dia sebaiknya ditanya rata-rata tingkat kecemasannya antara 1-10. Hal ini perlu dilakukan karena beberapa orang mengalami kecemasan tetapi gagal menandainya pada saat membayangkan adegan. Jika ada rasa cemas yang dilaporkan, guru hendaknya dengan cepat meminta siswa untuk berhenti memvisualisasi lalu memulai prosedur relaksasi (visualisasi dan meregangkan otot-otot). Alternatif lainnya adalah dengan cara guru menanyakan apa sebenarnya yang siswa rasakan dan pikirkan. Prosedur ini diulangi sampai semua hirarki imajinasi dilewati, dan mungkin membutuhkan beberapa sesi.
Fase kelima. Sebagaimana halnya model belajar yang lain, ide utamanya adalah mentransfer hasil dari prosedur-prosedur yang telah dilalui sehingga mereka berada di bawah kontrol siswa sehingga para siswa dapat mengaplikasikannya kepada situasi-situasi yang tepat. Para suswa sudah belajar bagaimana mengidentifikasi masalahnya sendiri, membuat daftar adegan atau kejadian yang digabungkan dengan target dan dilengkapi dengan bermacam-macam derajat kecemasan pada diri mereka sendiri. Dalam hal ini mereka berangsur-angsur memiliki kontrol atas diri mereka sendiri melebihi situasi kecemasan dalam hidupnya, sedikitnya beberapa tingkat.
C. Penutup
Demikianlah gambaran penerapan desensitisasi dalam pembelajaran. Teknik ini perlu dipertimbangkan untuk menghadapi berbagai perasaan cemas yang irasional yang dihadapi siswa. Karena teknik ini membutuhkan visualiasi dan imajinasasi (kalau tidak bisa dengan stimulus aslinya), maka teknik ini tentunya hanya akan efektif diterapkan pada siswa-siwa yang mampu mengembangkan imajinasinya sendiri. Sebagaimana halnya teknik-teknik pembelajaran yang lain, penerapan desensitisasi hendaknya diawali dengan analisis relevansi penggunaan teknik ini dalam pembelajaran. Pada awalnya teknik ini berada di bawah bimbingan dari guru yang dengan sabar menuntut siswanya menghadapi berbagai jenis kecemasan secara bertahap sampai akhirnya siswa memiliki kontrol atas dirinya sendiri dan mampu menerapkan teknik desensitisasi untuk berbagai situasi yang dia hadapi.
Minggu, 17 Mei 2009
Langganan:
Postingan (Atom)